POLEMIK RELOKASI SMP 1 WADO
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Jumat, 6 Mei 2011 23:55 WIB
WADO, Tatang Supriatna Ketua Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Pemantau Indipendent Kinerja Aparatur Pemerintah (PIKAP) yang juga konsen terhadap dunia Pendidikan di kecamatan Wado, angkat bicara terhadap polemik yang terjadi dalam proses relokasi SMP 1 Wado, menurutnya, yang paling bertanggung jawab dan tahu tentang polemik yang terjadi, adalah Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, hal itu disampaikannya saat berbincang langsung dengan sumeks, di ruang Kepala Sekolah SMP 1 Wado, Jalan Buah Ngariung Kecamatan Wado, Jumat (06/05) siang tadi.
“yang butuh itu kan pendidikan, jadi yang harus paling ditanya itu pendidikan, mereka yang paling hapal semua operasi”, ungkap pria yang baru berusia 50 tahun itu menjelaskan.
Bahkan ia menilai, semakin meruncingnya polemik relokasi disinyalir karena adanya unsur kepentingan pihak tertentu, padahal menurutnya, dengan berkembangnya banyak opsi lokasi untuk relokasi dari semula satu menjadi dua pilihan, seharusnya akan memberikan alternatif mana yang harus dipilih, kemudian pihak teknis menentukan pilihan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
“ada beberapa segmentasi yang harus diperhatikan, pertama pelaksanaan kegiatan pengadaan pembangunannya, pemeliharaannya, kemudian segementasi pemanfaatannya, support lingkungan yang harus didukung oleh daerah – daerah yang memang masyarakat pendidikannya banyak atau dekat seperti SD – SD, kemudian untuk mengoperasikan sekolah juga harus dekat dengan air bersih”, tuturnya.
Menanggapi Team Indipenden, bentukan sekretaris daerah melalui camat kecamatan Wado, Tatang, justru meragukan kemampuan team tersebut dapat menyelesaikan polemik yang terjadi, ”kami sendiri, dari temen – temen dewan pendidikan meragukan integritas, dan kompetensi mereka, apalagi keberadaan mereka pun tidak diketahui oleh DPRD”, ungkapnya.
Sementara itu, kepala sekolah SMP 1 Wado, Ade Mulyatun S.Pd, M.Pd, mengharapkan lahan yang nantinya akan dipilih oleh team teknis, dapat mendekati sesuai aturan sebagaimana sarana dan prasarana untuk sekolah.
Secara kronologis, Ade menambahkan, rencana relokasi sekolahnya, mencuat sejak tahun 2008, proses awal tadinya akan dipindahkan ke blok Nanceng, waktu itu harga yang ditawarkan Rp 1.5 juta per-bata, kemudian berubah Rp 1.7 juta dan terakhir Rp 1.9 juta, harga tersebut jelas ditolak oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, karena takut ada anggapan markup, dari situlah muncul alternatif pilihan lokasi yang lebih murah namun sesuai dengan peruntukan untuk sarana dan prasana sekolah, maka munculah blok beregud, yang nilai harganya dibawah yang ditawarkan di blok nanceng.
“bahkan seharusnya tahun 2011 ini harus sudah terjadi relokasi”, katanya.
Selama ini pihak sekolah bersama komite sekolah terus melakukan koordinasi dan membentuk team kepanitiaan kecil, sementara berkaitan dengan team indipenden, ia mengatakan, “belum ada koordinasi dengan pihak sekolah, bahkan siapa – siapa yang terlibat dalam team indipenden kami tidak tahu”, terangnya.
Ditanya tentang pilihan lokasi mana yang akan dipilih pihak sekolah antara blok beregud dan nanceng, Ade enggan berkomentar, secara diplomatis ia mengatakan,”kepala sekolah kan inginnya lokasi yang nyaman, aman buat siswanya, pengairannya mudah buat apa kalau gedungnya bagus tapi airnya sulit, struktur kemiringan tanah, kalau ada lahan seperti itu mau dua, mau tiga no problem. Tapi semuanya kami serahkan ke team teknis”, ungkapnya.(igun)