
“Kemana …
Kemana …”
Penggalan dari lagu Ayu ting-ting itu, menggambarkan bagaimana, sulitnya pemilik lahan di sekitar tanah kehutanan untuk pergantian tanah Jatigede, mendapatkan informasi Peta Bidang, hingga saat ini untuk mendapatkan informasi peta bidang itu, sulit, bahkan ditingkat Desa pun tidak ada.
Sumber Sumedangonline menyebutkan, disinyalir kisruhnya pembayaran lahan kehutanan pergantian tanah Jatigede di Desa Cimungkal, Kecamatan Jatigede itu dipicu tidak adanya transparansi, hingga publik kesulitan dalam mencari informasi, imbasnya mereka memiliki opini seragam jika ada permainan dalam proyek itu.
“Karena tidak adanya peta bidang itu, rata-rata pemilik lahan berasumsi kalau peta itu memang ditutupi, mungkin untuk menutupi permainan siapa, seharusnya kan peta itu harus ada dan terpampang minimalnya dibalai Desa-lah, sebagai informasi publik yang wajib diketahui, sebagaimana UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik, red.) Nomor 14 tahun 2008,” ujar Jajang Rustawan warga Desa Cikareo Selatan, Kecamatan Wado pemilik lahan di Desa Cimungkal, ditemui Sumedangonline di kediamannya, Selasa (7/2).
Jajang pun mengaku, jika dalam informasi terakhir yang diterimanya, secara tiba-tiba tanahnya lenyap dari peta bidang dan disinyalir berganti nama dengan yang lain, dengan nama dan ukaran yang berebeda, dari data sebelumnya tanah yang dia miliki.
“Jangan jauh-jauh tanah milik saya saja, pada 9 juni 2011 lahan ada pada peta, namun setelah adanya pemberkasan yang dilakukan di luar lokasi, tiba-tiba tanah saya hilang, saya tidak mengetahui nama siapa yang telah menimpa tanah milik saya itu,” lanjutnya.
Ditambahkan Jajang, jika dalam pemberkasan terakhir dirinya sebagai pemilik lahan tidak dilibatkan, justru yang dilibatkan dalam masalah pengukuran adalah sang calo.
“Tanah saya itu termasuk dalam ring satu, yaitu tanah-tanah yang dekat dengan tanah kehutanan, tapi aneh kok bisa sampai tidak masuk dalam peta bidang. Kalau menurut peta dari konsultan yang saya dapat itu seharusnya masuk, tetapi justru kenapa tidak naik ke dalam peta bidang, dan ukuran peta bidang serta namanya pun sekarang kok bisa jadi beda?,” bebernya.
Ditempat terpisah Kepala Desa Cimungkal, Dahlan, dihubungi Sumedangonline melalui selulernya, membenarkan jika selama ini kerap pemilik tanah menanyakan tentang peta itu, mereka menginginkan agar peta itu dapat terpampang di Balai Desa agar mudah dalam mencari informasi.
“Saya (Desa, red.) sendiri memang sangat perlu sekali dengan data peta itu, malahan kami sudah meminta ke Satker dan P2, tapi sampai sekarang pun saya belum punya, padahal itu sangat penting bagi saya, bahkan Desa sudah bolak-balik sudah 3 kali menanyakan tentang itu, karena banyak masyarakat yang bertanya,” ujarnya.
Bahkan Kades Cimungkal pun merasa kebingungan dalam mencari di mana sebenarnya posisi peta itu berada, apakah di Satker atau di P2T.
Sementara itu salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyebut akibat tidak adanya kepastian mengenai keberadaan peta dan seakan-akan ditutupi itu, menduga adanya pemalsuan data.
“Opini di masyarakat memang mengarah, ada dugaan pemalsuan data sehingga peta seakan-akan tidak dipublikasikan ke umum, jika itu terbukti upaya kami selanjutnya akan menempuh jalan yang semestinya,” ujar Sumber tersebut.(*)
mugia sing enggal kapendak dimana petana..meh jelas kanggo sadayana…
Kepada yang berwajib harus ditindak lanjuti dan dicari siapa yg bertanggung jawab jangan ditutup2pi.
bysa,,,,
problem lma.