Atang: BLT bukan Dewa Penolong
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Kamis, 22 Mar 2012 08:40 WIB
SITURAJA – Alih-alih ingin membantu masyarakat dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau dulu Bantuan Langsung Tunai (BLT), ternyata sejumlah warga menyikapinya dengan nada miring, apalagi pemberian BLT tersebut beriringan dengan rencana Pemerintah yang akan menaikan Migas.
“Kalau memang mau memberikan bantuan kepada masyarakat, seperti BLT, itu saya kira bagus, tapi alangkah lebih bagus jika tidak sambil menaikan BBM,” tutur Titi, pedagang warung nasi di betulan warung Ketan, RT 02, RW 07, Dusun Cimuncang, Desa Situraja, ditemui Sumeks di warungnya, Rabu (21/03).
Perempuan 54 tahun itu pun mengatakan, BLT yang diberikan pemerintah sami mawon, tidak dapat menutupi beban hidup masyarakat, karena menurutnya, BBM merupakan kebutuhan primer, sehingga jika itu naik, maka yang lain baik yang berkaitan langsung maupun tidak dengan BBM akan turut meroket.
“Belum resmi naik saja kan, beberapa kebutuhan pokok masyarakat, yang nota bene tidak bersentuhan langsung dengan BBM, seperti rempah-rempah, kan sekarang mulai pada naik. Saya beli cabe keriting biasanya Rp 1.500 per-ons, sekarang Rp 4 ribu per-ons, bawang putih dari Rp 9 ribu sekarang naik seribu, bawang merah apalagi dari Rp 8 ribu sekarang saya beli jauh lebih mahal Rp 12 ribu,” ungkap penjual nasi timbel itu.
Sebagai pedagang kecil, Titi, mengaku merasa keberatan dengan rencana kenaikan BBM yang dijadwalkan akan dimulai April mendatang. Apa pun dalih pemerintah untuk menaikan harga itu, rakyat kecil tetap yang akan terkena imbasnya.
“Biasanya dengan anggaran yang biasa kita anggarkan untuk anggaran sebelum kenaikan, itu akan tidak mencukupi jika kenaikan BBM benar-benar telah terjadi, karena apa pun nanti setelah BBM itu naik semuanya akan naik, ongkos transpor akan naik,” ungkap istri Ahmad itu menambahkan.
Menyikapi kejadian itu, tidak ada pilihan baginya untuk memenej ulang usaha warung nasinya, salahsatunya dengan memperkecil kuantiti dari makanan yang dijual. “Itu mungkin alternatif saya dengan menurunkan besarnya makanan, karena kalau sampai menaikan, dengan harga sekarang saja susah, apalagi jika dinaikan, bagi kami ini merupakan pilihan yang sulit,” ungkap perempuan yang sudah berdagang sejak tahun 2005 itu.
Senada dengan pernyataan warga tersebut salahsatu kader PDIP Sumedang, Atang Setiawan, menegaskan partainya secara tegas menolak kenaikan BBM, ia bahkan menilai dibalik kenaikan BBM itu ada skenario yang dibuat menjelang pemilu.
“Kami sebagai partai oposisi sebagai alat penyeimbang Pemerintah jelas menolak tegas kenaikan BBM, kenapa? Karena ini seperti sudah diatur dalam suatu skenario kaitannya dengan kondisi ekonomi masyarakat sekarang, menjelang saat-saat proses politik seperti pemilu sebentar lagi, seolah-olah ini skenario yang dibuat supaya masyarakat berat dari segi ekonominya. Kemudian keluar yang namanya BLT, sehinggan BLT diwacanakan sebagai dewa penolong bagi masyarakat kecil,” ungkap anggota DPRD Sumedang itu.(ign)