[caption id="attachment_12065" align="alignleft" width="300"] Ilustrasi[/caption] JATIGEDE – Ketua Konsorsium Orang Terkena Dampak (OTD) Jatigede, Drs Dedi Kusmayadi, menilai pemerintah pusat tak serius dalam penanganan dampak sosial akibat pembangunan waduk Jatigede dibanding dengan pembangunan fisik yang terus digenjot penanganannya. “Ini menandakan jika pemerintah sudah kembali memainkan bola pingpong, untuk menistakan OTD Jatigede. Nampaknya upaya untuk penyelesaian itu semakin jauh, meski pun sebelumnya pada 28 Oktober 2011 lalu telah ada kesepakatan. Tetapi, pemerintah sampai saat ini tak mau membuat pernyataan resmi. Itu berarti pemerintah akan membohongi masyarakat,” terang Dedi Kusmayadi usai mengikuti sebuah acara di Jatigede, Selasa (20/11). Bahkan nampaknya, menurut pendapat Dedi, tak menutup kemungkinan masyarakat OTD akan diusir paksa sama halnya seperti yang terjadi pada kasus Kedungombo. “Agar OTD Jatigede tak menjadi OTD Kedungombo II, pemerintah harus membuat sebuah pernyataan sikap tentang pelaksanaan penggenangan waduk. Kemudian cara-cara dialog dengan pemerintah provinsi sesuai dengan isi surat balasan memang harus dilakukan, karena kita menghormati pemerintah, karena adanya kesepakatan bersama antara menteri PU dan Gubernur, yang inti dari kesepakatan bersama itu, bahwa pelaksanaan fisik itu kewenangan pemerintah pusat melalui kementerian PU dan untuk penanganan dampak social kewenangan Gubernur. Gubernur telah membuat Samsat. Yang kami tanyakan sekarang, sejauh mana sebenarnya kinerja Samsat itu, untuk menyelesaikan dampak social,” tandas Dedi. Dedi menilai keberadaan Samsat yang diturunkan Provinsi Jawa Barat hingga saat ini belum bekerja secara optimal, sehingga ia mengaku pesimis jika tangan kanan pemerintah provinsi tersebut mampu menyelesaikan permasalahan sosial. “Saya pesimis, permasalahan dampak sosial akan selesai sebelum penggenangan dilakukan,” terangnya. Sementara itu menanggapi isi surat balasan dari Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum, Wakil Ketua DPRD Sumedang, Edi Askhari, menilai semua keputusan tetap yang akan memutuskan Pemerintah Pusat. “Provinsi dari sisi apa eksekusinya? Samsat itukanhanya melakukan kajian-kajian, memberikan pertimbangan, saran dan pendapat, tetap saja kalau keputusan dari pusat,” ungkap Edi Askhari. Adanya sikap saling lempar tanggung jawab antara provinsi dan pusat, Edi berpendapat, harus segera diadakan audensi antara Konsorsium OTD Jatigede dengan Forum. Dan pihak DPRD Sumedang, dalam waktu dekat ini akan mengupayakan audensi tersebut. “Waktu perencanaannyakanDesember itu harus sudah kosong di daerah genangan itu, sementara permasalahan-permasalahn belum selesai. Kita pertanyakan itu ke pusat. Karena ini tinggal satu anggaran lagi, April 2013, pembangunan waduknya sudah selesai. Oktober digenang, jadi kalau permasalahan ini belum tuntas sampai Oktober jangan harap akan dapat digenang, dan jangan harap dapat diresmikan presiden,” tandas anggota Fraksi Golkar tersebut. Edi pun menekankan pentingnya koordinasi antar departemen di pusat, tetapi untuk input datanya, menurut Edi, tetap bersumber dari Samsat. “Seperti berapa jumlah penduduk yang harus dipindah, apakah betul 4.850 KK atau jumlahnya berapa, itu kan harus jelas, sementara yang akan dibangun kan seribu lebih, berarti ada sisa 3 ribu lebih yang harus dirumahkan,” tambahnya. Kaitan dengan kekhawatiran warga OTD yang mensinyalir adanya indikasi akan dilakukan pengusiran paksa. Menurut Edi jika hal itu dilakukan pemerintah pusat, pihak DPRD Sumedang tak akan tinggal diam. “Seluruh rakyat Sumedang, karena dia (OTD Jatigede) merupakan bagian dari rakyat Sumedang, maka secara politis rakyat Sumedang akan dikerahkan oleh DPRD masuk ke daerah genangan. Kalau salahsatu tubuh merasa sakit maka tubuh yang lain pun ikut merasakan, kalau masyarakat Jatigede disakiti, maka seluruh rakyat Sumedang akan bergerak,” tegasnya.(ign)/SUMEDANG ONLINE

Dedi:OTD Jatigede Siap-siap Diusir

Ilustrasi

JATIGEDE – Ketua Konsorsium Orang Terkena Dampak (OTD) Jatigede, Drs Dedi Kusmayadi, menilai pemerintah pusat tak serius dalam penanganan dampak sosial akibat pembangunan waduk Jatigede dibanding dengan pembangunan fisik yang terus digenjot penanganannya.

“Ini menandakan jika pemerintah sudah kembali memainkan bola pingpong, untuk menistakan OTD Jatigede. Nampaknya upaya untuk penyelesaian itu semakin jauh, meski pun sebelumnya pada 28 Oktober 2011 lalu telah ada kesepakatan. Tetapi, pemerintah sampai saat ini tak mau membuat pernyataan resmi. Itu berarti pemerintah akan membohongi masyarakat,” terang Dedi Kusmayadi usai mengikuti sebuah acara di Jatigede, Selasa (20/11).

Bahkan nampaknya, menurut pendapat Dedi, tak menutup kemungkinan masyarakat OTD akan diusir paksa sama halnya seperti yang terjadi pada kasus Kedungombo. “Agar OTD Jatigede tak menjadi OTD Kedungombo II, pemerintah harus membuat sebuah pernyataan sikap tentang pelaksanaan penggenangan waduk. Kemudian cara-cara dialog dengan pemerintah provinsi sesuai dengan isi surat balasan memang harus dilakukan, karena kita menghormati pemerintah, karena adanya kesepakatan bersama antara menteri PU dan Gubernur, yang inti dari kesepakatan bersama itu, bahwa pelaksanaan fisik itu kewenangan pemerintah pusat melalui kementerian PU dan untuk penanganan dampak social kewenangan Gubernur. Gubernur telah membuat Samsat. Yang kami tanyakan sekarang, sejauh mana sebenarnya kinerja Samsat itu, untuk menyelesaikan dampak social,” tandas Dedi.

Dedi menilai keberadaan Samsat yang diturunkan Provinsi Jawa Barat hingga saat ini belum bekerja secara optimal, sehingga ia mengaku pesimis jika tangan kanan pemerintah provinsi tersebut mampu menyelesaikan permasalahan sosial. “Saya pesimis, permasalahan dampak sosial akan selesai sebelum penggenangan dilakukan,” terangnya.

Sementara itu menanggapi isi surat balasan dari Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum, Wakil Ketua DPRD Sumedang, Edi Askhari, menilai semua keputusan tetap yang akan memutuskan Pemerintah Pusat. “Provinsi dari sisi apa eksekusinya? Samsat itukanhanya melakukan kajian-kajian, memberikan pertimbangan, saran dan pendapat, tetap saja kalau keputusan dari pusat,” ungkap Edi Askhari.

Adanya sikap saling lempar tanggung jawab antara provinsi dan pusat, Edi berpendapat, harus segera diadakan audensi antara Konsorsium OTD Jatigede dengan Forum. Dan pihak DPRD Sumedang, dalam waktu dekat ini akan mengupayakan audensi tersebut. “Waktu perencanaannyakanDesember itu harus sudah kosong di daerah genangan itu, sementara permasalahan-permasalahn belum selesai. Kita pertanyakan itu ke pusat. Karena ini tinggal satu anggaran lagi, April 2013, pembangunan waduknya sudah selesai. Oktober digenang, jadi kalau permasalahan ini belum tuntas sampai Oktober jangan harap akan dapat digenang, dan jangan harap dapat diresmikan presiden,” tandas anggota Fraksi Golkar tersebut.

Edi pun menekankan pentingnya koordinasi antar departemen di pusat, tetapi untuk input datanya, menurut Edi, tetap bersumber dari Samsat. “Seperti berapa jumlah penduduk yang harus dipindah, apakah betul 4.850 KK atau jumlahnya berapa, itu kan harus jelas, sementara yang akan dibangun kan seribu lebih, berarti ada sisa 3 ribu lebih yang harus dirumahkan,” tambahnya.

Kaitan dengan kekhawatiran warga OTD yang mensinyalir adanya indikasi akan dilakukan pengusiran paksa. Menurut Edi jika hal itu dilakukan pemerintah pusat, pihak DPRD Sumedang tak akan tinggal diam. “Seluruh rakyat Sumedang, karena dia (OTD Jatigede) merupakan bagian dari rakyat Sumedang, maka secara politis rakyat Sumedang akan dikerahkan oleh DPRD masuk ke daerah genangan. Kalau salahsatu tubuh merasa sakit maka tubuh yang lain pun ikut merasakan, kalau masyarakat Jatigede disakiti, maka seluruh rakyat Sumedang akan bergerak,” tegasnya.(ign)