Ritual Kasumedangan, Mungkinkah akan Tinggal Kenangan?
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Sabtu, 23 Okt 2010 22:29 WIB
Sabtu pagi ditanggal 23 Oktober 2010, ratusan orang sudah berkumpul memadati balai Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, tidak hanya di depan Balai Desa, puluhan orangpun tampak sibuk di blok Sawah Muhara, di bawah pohon Kiara besar yang umurnya sudah ratusan tahun adanya, di bawah kiara tersebut sebuah surau kecil dengan bangunan sebagian tembok dan bagian lainnya dengan dinding bilik, bangunan surau kecil itu menghadap lapangan yang cukup luas, didepannya ada papayon yang beratapkan daun kelapa. Diantara hamparan karpet putih yang membentang, ada sebuah sesaji. Kesibukan pagi itu selain di dua lokasi tadi, juga tampak dialiran sungai Cihonje, mereka mencoba menutup sebagian sungai untuk ritual ngagogo.
Matahari mulai beranjak, ketika SumedangOnline dan PJTV Biro Sumedang berkunjung, tembang karuhun “Kembang Gadung” pun terdengar, dipinggir jalan ada batangan – batangan dupa terbakar tertancap ditanah. Hampir semua orang yang hadir, mengenakan pakaian hitam – hitam. Dari area gamelan, tampak permainan kuda singa yang didatangkan dari Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara.
Ya, yang datang hari itu tidak hanya dari masyarakat Leuwihideung, tetapi dari luar Desa Leuwihideung bahkan, Luar Kecamatan Darmaraja, mereka berbaur menjadi satu, saling silaturahim.
“Pesan yang disampaikan dari kegiatan ini adalah untuk mempersatukan warga Sumedang, kenapa diadakan di Leuwihideung, karena Cikal Bakal Sumedang ada disini”, jelas Kepala Desa Leuwihideung Amid menjawab pertanyaan reporter SumedangOnline.
Siapa sangka jika kegiatan ini menyedot perhatian warga, tampaknya warga menumpahkan kerinduan akan ritual yang kali terakhir dilaksanakan semasa Bupati Sutan Iskandar tahun 1970-an, sejak Sutan tidak menjabat sebagai bupati ritual itu pun seperti sirna ditelan bumi.
Akhir Oktober 2010, atas prakarsa Yayasan Sumedang Larang dan Disbudparpora Kab. Sumedang, ritual itu mulai disemai kembali.
Kepala Desa Leuwihideung mengaku tidak mengetahui pasti penyebab tidak diselenggarakannya ritual tahunan Sumedang Larang tersebut, Ia bahkan menuding Pemerintah Daerah Sumedang kurang perhatian, “Duka, kirang perhatosan rupina. Ritual seperti ini sudah puluhan tahun tidak dilaksanakan. Seharusnya itu Pemerintah Daerah yang memberikan perhatian. Justru yang ada setiap tahun dari Yayasan yang memperhatikan setiap bulan muharam, tepatnya dirumah guru kuncinya (Ibu Radi, pen.)”, aku Kepala Desa Leuwihideung.
Ia bahkan yakin jika setiap warga dan masyarakat Masyarakat Sumedang ikut merasa memiliki, ritual semacam ini akan lestari, “Dan harapan saya betul – betul ada perhatian dari pemerintah untuk melestarikan ritual ini,” harapnya.
Hal senada diungkapkan salahseorang Anggota DPRD Kabupaten Sumedang dari Komisi A, Atang Setiawan. Atang mengaku saat ini adalah moment yang tepat untuk melestarikan budaya yang terlupakan itu, karena ia memandang Pemerintah Sumedang telah memberikan signal dengan adanya Sumedang Puseur Budaya Sunda, “Kami sebagai bagian dari warga masyarakat Kabupaten Sumedang mempunyai tanggung jawab secara moral untuk mengangkat kembali, walaupun puseur budaya sunda itu tidak cukup diwujudkan dalam bentuk seremonial seperti ini. Tetapi, paling tidak ketika akar budayanya kita gali, ini akan mempunyai pengaruh efek social yang kuat kepada prilaku masyarakat kabupaten Sumedang, dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ngeuyek Dayeuh Ngolah Nagara berdasarkan semangat kasunda-an”,ujarnya.
Atang yang Ketua Anggaran Kabupaten Sumedang, mengakui jika sampai saat ini, jika Perhatian Pemerintah secara langsung tidak ada,”Sampai saat ini secara langsung tidak ada. Apalagi mungkin, karena ini daerah merupakan bagian dari rencana proyek Jatigede. Satu saat situs ini akan hilang,” ungkapnya.(team redaksi)