[caption id="attachment_3761" align="alignleft" width="200" caption="Iklan Lalawak. Foto:trobos"][/caption] Wujudnya bak ikan hias, durinya tak selebat tawes, dagingnya gurih, terlebih yang jenis “ikan lalawak jengkol” Tak jelas mengapa ikan ini dipanggil “lalawak”. Pastilah bukan karena bisa melawak. Yang pasti ikan ini mirip tawes. Bedanya, sirip lalawak berwarna merah, demikian halnya mata dan ekornya. Ukuran sisik lebih kecil dibanding tawes dan berwarna cerah. Menarik. Itulah sebabnya lalawak bisa dipelihara sebagai ikan hias. Bisa juga sebagai ikan lauk. Gurih, dan bobot seekornya pun bisa 1 kg atau lebih. Lalawak adalah ikan air tawar. Sungai berarus deras dan berbatu-batu adalah habitat paling nyaman bagi mereka. Lalawak tidak sepopuler ikan lauk maupun ikan hias walaupun rasa, wujud, dan bobotnya berpotensi pasar. Iin Suhandi, Ketua Kelompok Mina Usaha, mengungkapkan, kebanyakan sungai di daerah Sumedang Jawa Barat juga dihuni lalawak. Apalagi bila sungai-sungai itu masih alami, tanpa limbah industri. Sungai Cikandang dan Berade misalnya, termasuk hunian nyaman bagi lalawak. Bahkan pada bulan-bulan tertentu kedua sungai di Kecamatan Buahdua, Sumedang itu terjadi musim ikan berlimpah. Iin mengatakan, ikan lalawak awalnya hanya dijadikan hobi untuk mengisi kolam. Belum banyak masyarakat yang membudidayakan ikan ini. “Tapi bisa dipastikan orang yang suka menjala dan memancing di sungai punya ikan ini di kolamnya,” kata Iin kepada TROBOS belum lama ini di Sumedang. Lelaki dari Cileungsing, Desa Cilangkap, Buahdua Sumedang ini menuturkan, karena belum banyak yang membudidayakan, maka populasi lalawak tak pesat berkembang. Pemeliharaan yang ada dilakukan secara polikultur dengan ikan tawes, nilem, mas dan gurame. “Dicari di pasar pun sangat langka. Ini karena produksi kecil dan pemeliharaannya pun masih sambilan. Hanya masyarakat di daerah tertentu saja yang tahu ikan ini. Makanya, banyak yang mau beli, tapi sayang, ikannya tidak ada,” ujar Iin Suhandi yang sejak 1975 memelihara lalawak. Lalawak Jengkol Beda sungai, beda jenis ikan lalawaknya, Iin menjelaskan. Paling sedikit terdapat 3 jenis ikan lalawak. Yakni lalawak yang umum diketahui, lalawak jengkol yang berukuran lebih pendek seperti ikan louhan, dan lalawak panjang seperti ikan nilem yang umumnya ada di daerah Slawi Jawa Tengah. Ikan ini cocok di daerah dingin dan jarang terkena penyakit. Selain duri lalawak tidak sebanyak duri tawes, rasa dagingnya pun gurih, cocok untuk dipindang, didendeng atau dipepes. “Kalau ada yang panen ikan lalawak di kolam, tengkulak atau warga sekitar biasa beli untuk dipindang dengan takaran 15 - 18 ekor per kg,” ungkapnya. Lelaki yang hobi menjala ini mengakui, kalau dipelihara di kolam pertumbuhan lalawak lambat. Apalagi dengan pakan yang seadanya. Kalau di kolam memakai konsentrat (pakan pabrikan) butuh waktu 6 - 7 bulan. Tetapi kalau dipelihara di air deras atau di sungai menggunakan keramba, dalam waktu 3 bulan sudah bisa dipanen. “Pernah jala saya menangkap lalawak yang beratnya lebih dari 1 kg. Dari situlah, saya berencana memelihara di air deras. Di sungai. Sekarang sedang disiapkan tempatnya,” Iin. Pembenihan Lebih Untung Berdasarkan pengalaman budidaya Iin, usaha pembenihan lebih menguntungkan dibanding pembesaran. Lalawak konsumsi takaran 15 - 18 ekor per kg hanya dihargai sekitar Rp 20 ribu. Sedangkan kalau menjual benih 1 liter dengan isi sekitar 300 - 400 ekor, bisa mencapai Rp 48 ribu. Untuk menghasilkan benih ukuran 1 cm butuh waktu sekitar 2 bulan dengan keuntungan total sekitar Rp 400 ribu (satu kali panen benih dengan 5 ekor betina dan 20 ekor jantan). “Tidak perlu mengeluarkan biaya pakan karena hanya mengandalkan pakan alami. Cukup hanya mengatur aliran air dan harus sudah selesai panen padi karena benih lalawak bisa ditebar di sawah,” ujarnya. Hal yang sama diakui Dadang Suparna, pemelihara ikan lalawak di Dusun Naringgul, Buahdua Sumedang. “ Kalau jual benih bisa lebih mahal, 1 liter berisi sekitar 300 ekor bisa dijual Rp 25-30 ribu. Sedangkan untuk ukuran konsumsi 1 kg berisi 20 ekor hanya dijual Rp 15 ribu,” ujar Dadang yang mulai pelihara ikan lalawak sejak 1986. Untuk memijahkan, Iin menjelaskan, diperlukan media kolam tanah dalam keadaan kering dan berbau tanah agar merangsang ikan untuk kawin. Ada pula cara untuk menimbulkan bau tanah perangsang dengan membakar daun kelapa dan bata. Ciri betina yang sudah matang kelamin dan siap menjadi induk adalah semua sisik di tubuhnya kasar, dan badannya terasa lembek.** TROBOS sumber kutipan : http://mina-lestari.blogspot.com//SUMEDANG ONLINE

Menguak Potensi Ikan Lalawak

Iklan Lalawak. Foto:trobos

Wujudnya bak ikan hias, durinya tak selebat tawes, dagingnya gurih, terlebih yang jenis “ikan lalawak jengkol”

Tak jelas mengapa ikan ini dipanggil “lalawak”. Pastilah bukan karena bisa melawak. Yang pasti ikan ini mirip tawes. Bedanya, sirip lalawak berwarna merah, demikian halnya mata dan ekornya. Ukuran sisik lebih kecil dibanding tawes dan berwarna cerah. Menarik.

Itulah sebabnya lalawak bisa dipelihara sebagai ikan hias. Bisa juga sebagai ikan lauk. Gurih, dan bobot seekornya pun bisa 1 kg atau lebih. Lalawak adalah ikan air tawar. Sungai berarus deras dan berbatu-batu adalah habitat paling nyaman bagi mereka.

Lalawak tidak sepopuler ikan lauk maupun ikan hias walaupun rasa, wujud, dan bobotnya berpotensi pasar. Iin Suhandi, Ketua Kelompok Mina Usaha, mengungkapkan, kebanyakan sungai di daerah Sumedang Jawa Barat juga dihuni lalawak. Apalagi bila sungai-sungai itu masih alami, tanpa limbah industri.

Sungai Cikandang dan Berade misalnya, termasuk hunian nyaman bagi lalawak. Bahkan pada bulan-bulan tertentu kedua sungai di Kecamatan Buahdua, Sumedang itu terjadi musim ikan berlimpah.

Iin mengatakan, ikan lalawak awalnya hanya dijadikan hobi untuk mengisi kolam. Belum banyak masyarakat yang membudidayakan ikan ini. “Tapi bisa dipastikan orang yang suka menjala dan memancing di sungai punya ikan ini di kolamnya,” kata Iin kepada TROBOS belum lama ini di Sumedang.

Lelaki dari Cileungsing, Desa Cilangkap, Buahdua Sumedang ini menuturkan, karena belum banyak yang membudidayakan, maka populasi lalawak tak pesat berkembang. Pemeliharaan yang ada dilakukan secara polikultur dengan ikan tawes, nilem, mas dan gurame.
“Dicari di pasar pun sangat langka. Ini karena produksi kecil dan pemeliharaannya pun masih sambilan. Hanya masyarakat di daerah tertentu saja yang tahu ikan ini. Makanya, banyak yang mau beli, tapi sayang, ikannya tidak ada,” ujar Iin Suhandi yang sejak 1975 memelihara lalawak.

Lalawak Jengkol

Beda sungai, beda jenis ikan lalawaknya, Iin menjelaskan. Paling sedikit terdapat 3 jenis ikan lalawak. Yakni lalawak yang umum diketahui, lalawak jengkol yang berukuran lebih pendek seperti ikan louhan, dan lalawak panjang seperti ikan nilem yang umumnya ada di daerah Slawi Jawa Tengah.

Ikan ini cocok di daerah dingin dan jarang terkena penyakit. Selain duri lalawak tidak sebanyak duri tawes, rasa dagingnya pun gurih, cocok untuk dipindang, didendeng atau dipepes. “Kalau ada yang panen ikan lalawak di kolam, tengkulak atau warga sekitar biasa beli untuk dipindang dengan takaran 15 – 18 ekor per kg,” ungkapnya.

Lelaki yang hobi menjala ini mengakui, kalau dipelihara di kolam pertumbuhan lalawak lambat. Apalagi dengan pakan yang seadanya. Kalau di kolam memakai konsentrat (pakan pabrikan) butuh waktu 6 – 7 bulan.

Tetapi kalau dipelihara di air deras atau di sungai menggunakan keramba, dalam waktu 3 bulan sudah bisa dipanen. “Pernah jala saya menangkap lalawak yang beratnya lebih dari 1 kg. Dari situlah, saya berencana memelihara di air deras. Di sungai. Sekarang sedang disiapkan tempatnya,” Iin.

Pembenihan Lebih Untung

Berdasarkan pengalaman budidaya Iin, usaha pembenihan lebih menguntungkan dibanding pembesaran. Lalawak konsumsi takaran 15 – 18 ekor per kg hanya dihargai sekitar Rp 20 ribu. Sedangkan kalau menjual benih 1 liter dengan isi sekitar 300 – 400 ekor, bisa mencapai Rp 48 ribu.

Untuk menghasilkan benih ukuran 1 cm butuh waktu sekitar 2 bulan dengan keuntungan total sekitar Rp 400 ribu (satu kali panen benih dengan 5 ekor betina dan 20 ekor jantan). “Tidak perlu mengeluarkan biaya pakan karena hanya mengandalkan pakan alami. Cukup hanya mengatur aliran air dan harus sudah selesai panen padi karena benih lalawak bisa ditebar di sawah,” ujarnya.

Hal yang sama diakui Dadang Suparna, pemelihara ikan lalawak di Dusun Naringgul, Buahdua Sumedang. “ Kalau jual benih bisa lebih mahal, 1 liter berisi sekitar 300 ekor bisa dijual Rp 25-30 ribu. Sedangkan untuk ukuran konsumsi 1 kg berisi 20 ekor hanya dijual Rp 15 ribu,” ujar Dadang yang mulai pelihara ikan lalawak sejak 1986.

Untuk memijahkan, Iin menjelaskan, diperlukan media kolam tanah dalam keadaan kering dan berbau tanah agar merangsang ikan untuk kawin. Ada pula cara untuk menimbulkan bau tanah perangsang dengan membakar daun kelapa dan bata. Ciri betina yang sudah matang kelamin dan siap menjadi induk adalah semua sisik di tubuhnya kasar, dan badannya terasa lembek.** TROBOS

sumber kutipan : http://mina-lestari.blogspot.com/