Dapat Suara 30 Persen, Jadi Bupati

Ketua KPUD Sumedang, Asep Kurnia
Foto: Igun Gunawan/Sumeks

WADO – Meski tingkat partisifasi masyarakat Sumedang terhadap proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) terakhir terbilang tinggi, dengan persentasi di atas 80 persen. Namun secara regional, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumedang, Asep Kurnia, hal itu perlu diwaspadi.

“Kejenuhan masyarakat terhadap pemilu memang di Sumedang sejauh ini belum terukur, apalagi kalau melihat tingkat partisifasi masyarakat pada pemilu terakhir kan di atas 80 persen. Cuman, kalau kita lihat secara regional, berbicara pemilu terakhir kejenuhan masyarakat terhadap pemilu ini perlu kita jaga, karena sudah mendekati angka dibawah 60 persen, nah di Sumedang hal itu jangan sampai terjadi,” ujar Ketua KPUD Sumedang, Asep Kurnia, usai Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumedang, serta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2013, di Aulo Cakra Buana, Kecamatan Wado, Kamis (20/09).

Lanjut Ketua KPUD Sumedang, pemilukada kali ini justru harus menjadi ajang mengeksekusi bagi masyarakat Sumedang, terhadap para kandidat yang selama ini tak menempati janjinya. “Jadi kami tetap mengharapkan masyarakat Sumedang, mau datang ke tempat pemungutan suara dan lakukan pilihannya dengan benar,” tambahnya.

Dikatakan Ketua KPUD Sumedang, pihaknya mulai akan membuka pendaftaran pengambilan formulir mulai 29 September yang akan datang, dimulai dengan pembukaan untuk calon bupati dari jalur perseorangan. Selain itu dikatakannya, pada saat mendaftar nanti pihak KPUD Sumedang akan memberikan penyuluhan dan wejangan terhadap para calon dari berbagai elemen terkait termasuk dari alim ulama, para cendikia dan penegak hukum termasuk KPK.

“Penegak hukum itu sendiri dapat dari kepolisian maupun KPK, jadi bukan hanya KPK, yang kita sampaikan nanti seperti apa jabatan yang harus diemban nanti oleh para calon. Sementara itu, kalau sumber-sumber kekayaan dari yang mencalonkan memang itu harus dilaporkan secara resmi langsung ke KPU. Jadi begitu daftar ke KPU sudah tahu calonnya, mereka (calon) akan kita ajak diskusi dulu terbatas dengan alim ulama, cendikia, termasuk juga nasihat hukum agar tindakannya tidak kontra produktif dengan apa-apa yang diharuskan di undang-undang,” terangnya.

Ketua KPU pun menyebutkan jumlah persentase calon yang dapat memenangkan jadi bupati Sumedang, akan berbeda dengan persentase pada pemilihan di Jakarta. Jika di Jakarta, lanjut Ketua KPUD Sumedang, setiap calon yang unggul harus melebihi 50 persen tambah satu, namun untuk pemilu di Sumedang, cukup dengan 30 persen.

“Kenapa pemilu di Jakarta sampai dua putaran, padahal kan sudah lebih dari 30 persen. Karena di Jakarta berbeda dengan di Sumedang, kalau di Sumedang kalau calon sudah dapat 30 persen suara dia sudah dapat jadi Bupati, tetapi kalau di DKI Jakarta tidak, dia harus mendapatkan 50 persen tambah satu,” terangnya.

Ditempat yang sama Muspika Wado melalui Sekretariat Kecamatan Wado, Dadan Sundara, menyebutkan proses pemihan umum merupakan tanggung jawab bersama masyarakat Sumedang, bukan hanya tanggung jawab PPS maupun PPK belaka.

“Tugas kita dipemerintahan kecamatan hingga desa, adalah memfasilitasi. Tetapi artian fasilitasi di sini sangat luas. Fasilitasi dalam berbagai tahapan pemilukada yang diselenggarakan oleh KPU, dari awal, itu kalau kita tidak bantu dari pihak kecamatan sampai tingkat desa, mustahil dapat terlaksana,” pungkasnya.(ign)

Respon (5)

  1. Lantas pernyataannya begini: Apakah dengan kita partispatif ikut dalam penyelenggaraan pemilu benar benar bisa “mengeksekusi” (meminjam istilah ketua KPUD)kondisi yang ada,…aku rasa tidak, malah kita ikut melegitimasi dan memperpanjang kondisi yang ada…

  2. mudah2 an aja mereka2 mengerti dan memahami dari apa yg di maksud dlm berpartisipasi aktip dalam pembangunan,, maka dari itu, pungsi dan tugas aparatur pemerintahan baik dari rt nya samapai ke atas jgn bosab2 bersosialisasi dgn warga nya….

  3. kayaknya pribados oge moal ikut nyoblos he..he..partisipasi politik tdk ahanya diukur dari hadir tdknya di bilik suara, jauh lebih penting adalah proses partisipasi politik pada proses jalannya pemerintahan sehari-hari…dg cara komplain thd layanan publik yg buruk, alokasi anggaran yg tdk berpiohak kpd warga, kontrol thd penyelewengan kekuasaan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *