H KOKO, Tukang Angklung, Kurang Perhatian Pemkab

LIHAT – H Koko melihat arumba di tempat kerjanya. Kiprahnya yang hampir setengah abad, belum mendapat perhatian serius dari Pemkab Sumedang

SITURAJA – Suara gergaji mesin yang tengah memotong bilahan bambu hideung, terdengar begitu nyaring. Pria 73 tahun mengawasi 7 orang pekerjanya dengan seksama, dia adalah H Koko Safa’at BA, warga Dusun Ambit, RT 04, RW 03, Desa Ambit, Kecamatan Situraja.
Dalam gudang lebih dari 8 bata di depan rumahnya itu, Koko, memproduksi peralatan musik dari bambu, seperti angklung, calung dan arumba. Dari hasil usahanya itu, ia mengaku dapat menyumbang pajak ke negara dengan nilai fantastis hingga Rp 50 juta lebih per bulan. “Bagaimana pun ada hak orang lain dari apa yang kita usahakan. Makanya membayar pajak itu bagi saya sebuah kewajiban,” tutur suami dari E Carmini (65), di temui Sumeks di kediamannya dan tempat usahanya, Selasa (1/5).
Omzet pembuatan alat kesenian dari bambu itu memang terbilang besar, buktinya dalam bulan berjalan ini ia telah meneken kontrak Rp 104 juta untuk beberapa set angklung. Hampir seluruh kota di Jawa Barat, menurut H Koko, bahkan kota Bogor dan Bekasi, yang nota bene lebih dekat ke perajin yang ada di Bandung, pada kenyataannya tidak sedikit yang tertarik untuk memesan ke Ambit.
“Saya tidak tahu kenapa mereka bisa tertarik sama kita, tetapi saya yakin mereka mempunyai alasan tersendiri, hingga kerap datang ke sini,” lanjutnya.
Pria yang telah dikaruniai tiga orang putra, yakni Dr. Uus Karwati SSen, Msen; Yuyun Rahayu Amd dan Yuli Agustina itu. Mengawali kariernya membuat angklung sejak ia diangkat menjadi guru di SD III Kadipaten, Kabupaten Majalengka tahun 1960.
“Saya memang pertama kali membuat seperangkat alat musik angklung  untuk keperluan sendiri di sekolah, tapi sebelumnya memang sejak di bangku SGA (setingkat SMP) Bandung, pernah diberi tugas membentuk grup musik angklung sekolah dan mentas pertama kali di acara Pemda Bandung, di Hotel Preanger,” ungkapnya yang saati itu diberi bimbingan Daeng Sutigna (alm) dan Udjo Ngalagena (alm) serta Oteng Sutisna.
Bermula dari membuat angklung di SD III Kadipaten itulah, sejak tahun 1963. Ia mulai mengembangkan produksi angklung secara besar-besaran. “Padahal saat itu saya mencari awi hideung, yang benar-benar sudah tua itu susah, karena saya di Kadipaten baru. Sampai saya membeli awi hideung yang dipunyai warga, kebetulan banyak warga yang menyimpan awi hideung di dalam kolong-kolong rumahnya, serta dijadikan jemuran pakaian,” kenangnya.
Nama Koko pun menggema di belantika musik tradisional, tidak hanya sebagai perajin, pembimbing, dan pelatih sening angklung di sanggar Ringkang Gandang, tapi namanya sudah mewangi di Jawa Barat dan mancanegara seperti Malaysia dan Jepang. Tahun 2008, ia menggemparkan dunia angklung Jawa Barat. Ide gilanya dengan membuat angklung raksasa di BIP, setinggi 10 meter, lebar 5 meter, dengan menggunakan 25 batang bambu surat, 110 meter tali pengikat dan dikerjakan selama 14 hari dengan 5 pembantu, mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).
Sayangnya, penghargaan yang ia dapatkan dari Pemerintah Kabupaten Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda (SPBS) tidak begitu terlihat. Terakhir pada hari jadi ke-434 Sumedang ia mendapatkan penghargaan dari Pemkab Sumedang, sayangnya pada penghargaan itu terkesan asal jadi.
“Nama saya ditulis Koko Sapaat kan seharusnya Koko Safaat, bagaimana kalau ada nama yang sama. Kan ini bagi saya sangat janggal. Terus saya ditulis sebagai Pelestari Seni Budaya Sunda, kalau membaca kalimat ini, seolah-olah kalimat mainan ulah heunteu teuing, makanya disebutkan ahli seni budaya. Saya merasa tersinggung dengan adanya piagam ini,” ungkapnya penuh nada kesal.
Koko memandang, seakan-akan Disbudparpora Sumedang, tidak mau memunculkan seniman Sumedang secara spesifik yang mempunyai keahlian, seperti dirinya yang ahli dalam membuat angklung. Koko menuding kekeliruan terjadi karena formulir data yang sebelumnya ia terima, tidak sampai ke Disbudparpora. Hal itu terjadi karena kurir yang mengirimkan surat tersebut datang dua hari sebelum hari pemberian penghargaan. Tanggal 15 April lalu ia mendapatkan formulir isian yang harus akan diambil kurir esok harinya. Namun hingga Selasa (17/4), tidak ada yang mengambil hingga ia pun berinisiatif ke Sumedang. Ketika ditanya tentang formulir itu harus diserahkan ke mana, pihak Panitia hari jadi tak ada yang tahu, kemudian dirinya berkonsultasi dengan, Ade Rohana, dari Disbudparpora, dan diketahui jika penghargaan itu akan diberikan kemudian.
Ketidak seriusan panitia hari jadi pun kembali terlihat pada dua undangan yang ia terima, tanggal 26 April, ia menerima dua undangan, satu datang dari panitia hari jadi dan satunya langsung dari Bupati Sumedang. Dari kedua undangan itu, penggunaan pakaian yang digunakan berbeda.
“Tanggal 27 April itu, ada sekitar 27 orang yang hadir, yang lain di kursi itu ada nama dan dari spesifikasi apa mereka menerima penghargaan itu. Saya, hanya nama saja. Sebenarnya tujuan saya mengkritisi hal ini bukan materi, tapi benar-benarlah Disbudparpora sebagai induk kami memberikan penghargaan ke yang tepat, ada beberapa penghargaan yang saya kira tidak tepat, dan justru ngerakeun,” pungkasnya.(ign)

Respon (5)

  1. disbudpar sumedang emang piresepeun peureup,,ngakuna SPBS,, tpi owoh ngajenan ka para seniman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *