Dibalik Tampomas Yang Meranggas
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Rabu, 30 Jun 2010 01:50 WIB
Jalan – Jalan kita Minggu ini mengunjungi objek wisata penggalian pasir di Gunung Tampomas, sambil melihat langsung seberapa tajam ‘taji’ Pemerintah Sumedang, untuk melindungi Tampomas dari kehancuran akibat penambangan yang berlebihan.
Minggu 27 Juni 2010, sekira pukul 13.00 WIB, team redaksi sumedangonline.com, beranjak dari Graha Insun Medal (GIM) Radio eRKS, di mana sumedangonline bernaung. Dua buah motor melaju dengan kecepatan lambat karena hiruk pikuk kendaraan yang kian hari semakin padat, kemacetan seperti biasa terjadi di depan Plaza Sumedang.
Memasuki Wilayah Cibeureum, berbelok kearah kiri, masuk ke sebuah jalan dengan lebar sekira 4 meteran, dengan aspal yang sudah tertutupi pasir. Debu sudah tidak dapat diceritakan lagi, diterbangkan oleh angin dari putaran ban – ban truk pengangkut pasir yang hilir mudik, dan kami harus menutup rapat Helm ber-SNI agar mata tidak terkena debu.
Memasuki area Wana Wisata Baru tersebut, yang kali pertama muncul adalah kegetiran, gunung sebagai penopang air untuk kehidupan manusia sekitar bahkan diluar Kecamatan Cimalaka sekalipun, termasuk Tomo dan Conggeang, seakan sirna, yang ada padang pasir, dengan deru alat – alat berat yang mencabik – cabik Tampomas yang kian hari kian meranggas.
Menurut penuturan warga setempat, SIDAK yang dilakukan pemerintah, hanya berlaku sekitar empat hari selanjutnya, penggalian seperti, sebuah kewajaran.
“Yang peduli, terhadap lingkungan terus berupaya menyelamatkan Tampomas, yang merusaknya pun terus berjalan”Ujar Sujana Kosim (31) Putra dari Pelestari Lingkungan Tampomas Uha Juhari dari Desa Cibeureum Wetan Kecamatan Cimalaka.
Hmmm … berkompetisi, mungkin itulah yang terjadi sekarang, entah siapa kelak yang menjadi juara. Entahlah.
Adalah Uha Juhari tahun 1983 secara spekulasi membeli lahan kritis sisa Galian Pasir C di Desa Cibeureum Wetan, dengan luas lahan 100 bata. Niatnya tersebut tentu mendapat tantangan secara moril dari berbagai pihak, betapa tidak dia membeli lahan yang tandus, yang lapisan topsoilnya merupakan bebatuan. Tetapi niat hatinya begitu kuat untuk menyelamatkan Tampomas, meski harus mereklamasi lahan tandus dengan biaya tinggi dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Tahun 1985, dalam proses reklamasinya Uha, menanam beberapa tanaman yang menurutnya mudah tumbuh dilahan tandus seperti tanaman Gamal (Gliricidia sepium). Tentu saja bukan hal mudah menanam tanaman di lahan bebatuan, tanaman Gamal pun hampir saja tidak dapat bertahan lama, namun dengan berbagai cara Uha, akhirnya tanaman – tanamannya dapat tumbuh dengan normal sekitar tahun 1987. Dan kawasan Tampomas diwilayah tanahnya pun menghijau.
“Pernah tanam pisang, tapi disini banyak kuuk”Ungkap Sujana Kosim.
Tahun 1989 ayah Sujana Kosim tersebut sempat memelihara Ayam, namun tidak dapat bertahan lama, karena nilai ekonomisnya yang kurang. Setelah itu barulah terpikirkan oleh Uha untuk membuat peternakan Kambing Peranakan Ettawa yang sekarang lebih dikenal dengan julukan Kambing PE, kambing Etawa sendiri merupakan kambing yang dibudidayakan masyarakat India, ditempatnya lebih akrab dengan nama Jamnapari, Wikipedia Indonesia menyebutkan ciri khas Kambing Etawa badannya besar, tinggi gumba yang jantan 90 sentimeter hingga 127 sentimeter dan yang betina hanya mencapai 92 sentimeter. Bobot yang jantan bisa mencapai 91 kilogram, sedangkan betina hanya mencapai 63 kilogram. Telinganya panjang dan terkulai ke bawah. Dahi dan hidungnya cembung. Baik jantan maupun betina bertanduk pendek. Kambing jenis ini mampu menghasilkan susu hingga tiga liter per hari. Di Indonesia Kambing Ettawa disilangkan dengan Kambing Lokal maka lahirlah Kambing Peranakan Ettawa atau Kambing PE.
Dengan berbekal tanaman Gamal yang telah ditanamanya terlebih dahulu, Uha Juhari. Membeli sepasang Kambing PE, dan 2 ekor kambing PE betina lainnya melalui system Gaduhan dengan tetangganya, sehingga kala itu Uha memiliki empat ekor kambing, satu ekor jantan dan tiga lainnya betina.
Usaha dari kegiatan Pemeliharaan Kambing tersebut ternyata secara ekonomis menguntungkan, mengapa tidak selain dapat menjual Kambing secara utuh, juga menghasilkan Air Susu Kambing, yang memiliki berbagai macam khasiat untuk kesehatan, juga kotorannya dapat dijadikan Pupuk Kandang.
Kambing PE, menjadi primadona masyarakat Cibeureum untuk dibudidayakan. Sekira tahun 1998 akhir, Uha membentuk Kelompok Tani dengan Nama Simpay Tampomas. Kelompok tani ini membina masyarakat Cibeureum untuk beternak kambing PE, sekaligus membantu pemasarannya. Dan sekarang sudah memiliki anggota 45 orang.
Kini Uha dan Anaknya berharap Pemda Sumedang dapat memfasilitasi memberikan bantuan dana untuk pengembangan usaha tersebut, menurutnya di Cimalaka saja ada sekira 20 Pemuda yang berminat untuk mengelola Kambing PE namun terbentur biaya pembelian kambing PE yang harganya sekarang berkisar 5jt-an untuk 1 ekor.
Diapun mengkritisi dengan adanya rumor jika tidak dekat dengan Partai Politik, maka bantuan pun susah turun, jika memang demikian bagaimana Sumedang akan maju, jika terjadi dikotomi seperti ini.
Saat ini keluarga Uha mempunyai 60 ekor Kambing PE, namun yang dijadikan produksi susu hanya 10 ekor perhari, dengan masing – masing diambil susunya 1 liter, sehingga dalam 1 hari pihaknya dapat menghasilkan susu kambing PE 10 liter dengan nilai jual Rp 20.000, namun harga Eceran dapat menembus Rp 30.000 – Rp 50.000. Pemasarannya sendiri menurut Kosim, di jual ke Tanjungsari, dan Konsumen yang langsung datang ketempatnya.**