SUMEDANG NYANDANG KAHAYANG.
Adalah merupakan suatu “jargon’ yang telah dipublikasikan sekitar duapuluh tahunan yang lalu, nampaknya sesuai dengan jargon tersebut hingga kini masih berstatus “nyandang kahayang”, belum terasa ada implikasi perubahan yang berarti dalam kehidupan di masyarakat Sumedang, namun kini malah yang terjadi dalam setiap tahun ‘trend’-nya mengalami deficit.
Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus terjadi seperti itu karena akan berdampak ‘systemic’ dan ‘endemic’ dalam kehidupan masyarakat sehingga nantinya bila dibiarkan Sumedang akan semakin jauh ketinggalan dibandingan Kabupaten lainnya di Jawa Barat, padahal Kab.Sumedang lokasinya paling dekat dengan ibu kota Jawa Barat (Bandung), semestinya harus dapat mengikuti perkembangan Kota Bandung, bukan malah sebaliknya.
Namun apakah sih sebenarnya yang membuat Sumedang mengalami deficit dalam setiap tahunnya sehingga tidak mengalami kemajuan yang berarti selama ini ? Hal itu tentunya harus menjadi tanggungjawab dan pemikiran semua pihak, sehingga dapat diambil suatu solusi yang dapat diterapkan dalam suatu roda pemerintahan dan diterima dengan baik oleh masyarakat.
Untuk dapat menelusuri dan menelaah keadaan tersebut di atas, nampaknya perlu dikaji dengan suatu analisa masalah berdasar masukan dari berbagai sumber yang mewakili pihak Pemerintah, Anggota Dewan dan Perwakilan dari Masyarakat,
SWOT ANALYSIS.
Bentuk kajian analisa dan mitigasi masalah yang paling sederhana diantaranya dapat kita terapkan dengan menggunakan SWOT Analysis, yaitu suatu instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan; kesempatan ekternal dan ancaman. Instrument ini memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara yang terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrument ini menolong para perencana tentang apa yang bisa dicapai, dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh mereka.
Berdasar cara analisa tersebut di atas, dapat diambil suatu masukan sbb:
Strengths (Kekuatan)
• Letak Geografis Sumedang berdekatan dengan Kota Bandung, sehingga sangat memungkinkan untuk menjadi daerah alternative pengembangan Kota Bandung kearah Timur,
• Daerah Sumedang (Jatinangor) telah dijadikan sebagai Pusat Pendidikan Perguruan Tinggi, semestinya dapat meningkatkan kualitas masyarakat Sumedang,
• Sumber Daya Alam dan Manusia di Sumedang memiliki potensial yang tinggi, bila dikembangkan dan dikelola dengan baik,
• Di daerah Sumedang dan sekitarnya pada saat ini terdapat Proyek Besar yang berskala International, sehingga seharusnya dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya.
• Sumedang memiliki banyak peninggalan Budaya, seharusnya dapat menjadi Tujuan Kota Wisata,
Weaknesses (Kelemahan)
• Tidak banyak pengusaha yang mau menamkan modalnya di Sumedang,
• Kurangnya promosi dari pihak Pemerintah Daerah, terhadap potensi yang ada.
• Tidak adanya Pusat Pendidikan / Pelatihan Keahlian bagi masyarakat Sumedang,
• Proyek-proyek besar di daerah Sumedang tujuannya “hanya” untuk kepentingan daerah lain,
• Kabupaten Sumedang belum menerapkan Otonomi Daerah secara Independent,
• Pendapatan Asli Daerah belum dioptimalkan secara maksimal,
• Biaya Anggaran aparatur Pemerintah masih lebih besar dibandingkan dengan Biaya Anggaran Publik.
Opportunities (Kesempatan)
• Sumedang dapat dijadikan sebagai daerah alternative yang terbaik dalam pengembangan Kota Bandung,
• Dengan adanya jalan lintas (Tol Cisumdawu) yang akan menghubungkan ke Jalan Tol Lintas Utara dan Bandara Kertajati (Majalengka), daerah Sumedang dapat dijadikan sebagai daerah alternative untuk Industrial Area,
• Mega Project di daerah Sumedang dan sekitarnya, seharusnya dapat meningkatkan dan mendorong laju perekonomian masyarakat Sumedang,
• Dengan adanya kemudahan access masuk dan keluarnya ke daerah Sumedang, akan dapat mendorong Investor untuk menanamkan modal usahanya,
• Bila pengembangan SDM dapat dilaksanakan dengan baik, Sumedang dapat menjadi tempat sentral kerajinan dan tempat industri olahan makanan karena memiliki letak strategis dan dekat ke Kota Besar dan Airport,
Threats (Tantangan/Ancaman)
• Bila Pemkab Sumedang tidak segera melakukan terobosan kebijakan (breakthroughs), akan kehilangan peluang besar dan tentunya akan dimanfaatkan oleh daerah lainnya seperti Majalengka dan Kab.Bandung,
• Bila Pemkab Sumedang masih menerapkan Sistem Birokrasi yg berlebihan, kemungkinan besar Investor akan “segan” untuk melirik Sumedang sebagai tempat tujuan usaha / penanaman modal,
• Bila SDA + SDM tidak diperdayakan dengan baik, kemungkinan SDM dari Sumedang akan dimanfaatkan oleh daerah lain, sehingga akhirnya Sumedang tidak memiliki ciri khas produk sendiri.
• Akibat tidak dilakukannya evaluasi pegawai, maka produktifitas dan jumlah pegawai Pemda banyak yang tidak effektif, sehingga Biaya Pembelanjaan Pemda melebihi Biaya Anggaran Publik, yang akhirnya berdampak serta menimbulkan deficit anggaran dalam setiap tahunnya.
Dari data SWOT Analysis tersebut di atas, nampaknya perlu segera diambil tindakan NYATA oleh Pemegang Kebijakan, atas persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat – Daerah, selain itu Pemimpin / Kepala Daerah harus segera mengevaluasi semua Dinas Instansi sehingga jumlah Pegawai dari masing-masing Instransi tersebut productive dan efficient.
Di sisi lain sekiranya dipandang mampu, tidak menutup kemungkinan bila dalam dua Dinas / Instansi digabung, sehingga dengan sendirinya akan terjadi effesiensi Pegawai yang benar-benar produktif, dengan jumlah ratio yang optimum,
Hal ini tentunya akan berdampak terhadap besarnya biaya pengeluaran untuk dana belanja pegawai yang mencapai Rp. 575,30 miliar atau sebanyak 60,45 % dari seluruh total Dana Belanja Daerah (Rp. 951,69 miliar). Ditambah lagi dana belanja pegawai yang terdapat dalam Belanja Langsung berupa pemberian honor kegiatan pada setiap program di semua SKPD sebanyak Rp. 60,73 miliar.
Dengan kondisi tsb.di atas akibatnya dalam setiap tahun anggarannya Kab.Sumedang trend-nya mengalami penurunan / deficit, namun di sisi lain anehnya dalam setiap tahun Pengangkatan / Penerimaan Calon PNS lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pegawai yang Pensiun, selain itu keadaannya tersebut diperparah lagi dengan banyaknya pegawai honorer yang menuai kontroversi dari beberapa anggota fraksi karena disinyalir adanya manipulasi data pegawai, sehingga dituntut untuk dilakukan pendataan ulang di masing-masing Dinas / Instransi,
Keadaan tersebut di atas nampaknya sudah berlangsung lama, namun karena tidak dilakukan evaluasi dan tindakan yang tegas akibatnya di dalam sistem Kepegawaian Pemda tidak terkontrol, sehingga terjadi seperti saat itu,
Hal serupa dirasakan oleh beberapa pihak, sehubungan tidak adanya evaluasi sistem Kepegawaian, maka tidak ada “Evaluasi Kinerja” untuk masing-masing pegawai, akibatnya dalam upaya Peningkatan Kenaikan Golongan / Jabatan, tidak dilakukan dengan menggunakan ‘tools’ yang benar seperti “Fit and Proper Test”, akibatnya di Biro / Bidang Kepegawaian tsb.akhirnya dianggap sarat dengan Kolusi dan Nepotisme. Konon kini menjadi suatu hal yang lumprah bila ingin naik jabatan / golongan, harus memiliki “modal” terlebih dahulu dan harus “loyal” dengan atasan / Pimpinan Daerah, bila tidak maka siap-siap untuk dipindahkan / digeser kedudukannya, dan dengan demikian akan menimbulkan “jalan di tempat” alias tidak ada perubahan / peningkatan. Hal itulah ternyata yang menimbulkan “less productivity” akibat de-motivation, karena berprestasi atau tidak dianggapnya saja saja !
Keadaan seperti itulah yang membedakan antara sistem Kepegawaian Pegawai Negeri dengan Pegawai Swasta / BUMN.
OTONOMI DAERAH.
Bila dilihat dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, dapat dibagi menjadi dua nilai dasar, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (“Eenheidstaat”), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Berkaitan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan / pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II dengan beberapa dasar pertimbangan:
• Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
• Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
Setelah Era Orde Baru memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
• Pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
• Sistem otonomi yang dianut adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
• Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten / kota.
Bila dilihat dari penjelasan tentang Otonomi Daerah seperti tersebut di atas, nampaknya untuk di Kab.Sumedang belum dapat melaksanakannya dengan sepenuhnya, sehingga Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah masih banyak ketergantungan kepada Pemerintah Pusat,
Adapun seharusnya bila Otonomi Daerah dapat diterapkan dengan baik dan benar, Pemkab adalah merupakan “Ujung Tombak” pelaksanaan pembangunan karena Daerah Tingkat-II lebih tahu tentang kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut seharusnya adalah:
• Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
• Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan / diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
• Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Namun ternyata yang menjadi permasalahan dalam penerapan Pemerintahan Otonomi Daerah tersebut diakuinya oleh Pihak Pemda faktor kesulitan utama dan hambatannya adalah menyangkut masalah dengan “Kepentingan Politik”, karena sebenarnya untuk menerapkan Otonomi Daerah bukan merupakan sesuatu hal yang sulit, asal memiliki keinginan dan commitment bersama untuk kepentingan Pemberdayaan Masyarakat, sehingga dengan demikian KALAU MAU PASTI BISA…!
Nara Sumber:
http://www.facebook.com/#!/photo.php?pid=414444&id=100000225158189&comments
Salam Sono ti Urang Wado
(Ir.H.Surahman,M.Tech,M.Eng,MBA)
ETA PHOTO ANU NUNGTUN SEPEDA ONTEL TEH CALON BUPATI???
Sampurasun Juragan…,
Rupina mah kedah kitu Kang, pemimpin rakyat mah kedah ngarakyat…, piraku ari sapedah na merek “Jaguar” mah asa teu pararantes teuing keur Urang Sumedang mah..!