Data Gakin, Nggak Yakin
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Selasa, 19 Jun 2012 21:26 WIB
Heboh …
“Banyaknya program yang memanjakan keluarga miskin (gakin), membuat angka kemiskinan di Sumedang semakin bertambah. Ketua Komisi C, drg Rahmat Juliadi menyebutkan, hal itu terjadi lantaran Pemerintah Kabupaten Sumedang tak memiliki data valid terkait kategori gakin”. (Sumedang Ekspres, 19/06/12)
Awalnya penulis tidak sepakat dengat kata ‘memanjakan’ di atas, semestinya adalah melayani. Namun setelah dipikir-pikir ada benarnya juga. Mungkin bagi sebagian masyarakat, terutama yang mampu, pelayanan yang disediakan oleh pemerintah untuk gakin ini lebih menguntungkan. Salah satunya mendapat jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas).
Selain itu pula, yang membuat penulis setuju dengan kata memanjakan bukan melayani ternyata dengan program-program khusus bagi gakin ini semakin menambah angka kemiskinan. Seharusnya semakin berkurang, lantaran menjadi sejahtera. Saking dimanjainnya, gakin ‘senang’ dengan kondisi yang ada.
Standar yang Jelas
Mengutif pernyataan Rahmat, “Jadi sebetulnya harus ada pemetaan terlebih dahulu mana yang disebut masyarakat kategori gakin” (Sumedang Ekspres, 19/06/12). Memang betul, semestinya ini yang mesti dilakukan oleh dinas-dinas terkait yang mengolah data-data gakin tersebut. Tanpa adanya standar sangat sulit ditemukan keseragaman penilaian, sebab masing-masing dinas punya penilaan yang berbeda. Jadi harus ditetapkan standar yang jelas dan terukur gakin itu seperti apa? Jika tidak, justru akan berdampak negatif pada kinerja dinas-dinas itu sendiri.
Seperti yang disampaikan oleh Rahmat, “parahnya lagi ditiap-tiap dinas data gakin itu berbeda-beda. Hal inilah yang membuat pemantauan terhadap gakin serta bantuan yang ada menjadi tak tepat sasaran. Banyak dampak negative yang ditimbulkan terkait angka kemiskinan yang carut marut. Misalnya, terkait jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Banyak masyarakat yang terkategori mampu yang bermasalah dengan dengan kesehatan, meminta rekomendasi ke desa, kecamatan hingga Dinas Sosial. Parahnya lagi, karena mereka tak punya data yang akurat, rekomendasi keterangan tidak mampu pun dengan mudah diberikan”. (Sumedang Ekspres, 19/06/12)
Terorganisir
Mungkin kita akan berpendapat bahwa kacau balaunya data gakin ini lantaran banyak ‘tangan dinas’ yang bermain. Namun menurut hemat penulis, hal ini tidak jadi masalah. Sebab tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama jika hanya memanfaatkan satu kedinasan saja, masalahnya adalah tinggal diorganisir.
Selain punya standar gakin yang jelas, keberadaan dinas-dinas ini mesti terorganisir dengan baik agar hasilnya baik pula. Misalnya, kapan dinas-dinas tersebut melakukan pendataan. Sebab beda jangka waktu akan berbeda pula hasilnya. Dalam sebulan, bisa saja ada gakin-gakin yang baru. Entah karena kena musibah seperti kebakaran atau bencana alam, atau tindak kriminalitas, seperti perampokan. Hingga penyitaan yang dilakukan karena kepala keluarga kedapatan korupsi anggaran negara.
Wajar
Wajar jika angka kemiskinan semakin bertambah selain karena waktu pendataan yang berbeda, yang lebih parahnya lagi penyebabnya adalah kebijakan pemerintah. Tidak menutup kemungkinan jika kebijakan pemerintah juga turut menjadi faktor utama bertambahnya angka gakin. Kebijakan penaikan harga BBM misalnya.
Bukan Sekedar Data
Seluruh dinas pemerintahan seharusnya tidak melihat data-data gakin tersebut sebagai angka-angka biasa. Itu semua adalah data-data yang menunjukkan banyaknya rakyat yang harus diupayakan kemakmurannya. Jangan sampai ada anekdot, ‘Angka kemiskinan semakin menurun. Munurun ke anak cucunya” atau “Penduduk miskin kian berkurang, sebab banyak yang meninggal”.
Ingatlah sesungguhnya Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban dari para pemimpin. “Seorang imam (penguasa) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).(*)
Penulis : Fengki Ari Anggara adalah Mahasiswa Jurusan Manajemen Produksi di IKOPIN, aktif menulis di www.SUMEDANGONLINE.com