RAKTANDANG (Gerakan Tatangkalan Sumedang)

BUPATI jeung Walikota, dipingpin ku Gupernur, ngasruk ka gunung nu gundul, nyungsi pasir nu bulistir. Nikreuh leumpang bari dirérab panonpoé nu morérét. Rahayat, kitu deui para pamong, ngabring tukangeunana. Ti lebah mumunggang, Gupernur ngagero: “hayu urang melak tatangkalan” !

Éta téh kajadian béh ditu, basa alam Sunda ngémploh kénéh, bari can pati werit teuing siga ayeuna. Tapi Gupernur harita tayohna gereget mun nyaksian aya tanah nu angar, atawa aya lahan nu taya tatangkalan. Nya nyieun gerakan nu disebut Rakgantang (Gerakan Gandrung Tatangkalan). Éta gerakan nu dipokalan ku Mang Ihin (Solihin Gautama Purwanegara, Gupernur Jawa Barat manten periodeu 1970-1975) kawentar nepi ka ayeuna. Hanjakal, program Mang Ihin nu diancer-ancer 30 tauneun téh, teu katuturkeun ku Gupernur-gupernur saenggeusna. (sumber : http://www.kotabogor.go.id/)

Keprihatinannya menyaksikan kerusakan hutan dan lingkungan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang berdampak pada perekonomian rakyat dan  bencana alam. Disamping itu, dilihatnya jarang ada tindakan tegas terhadap para pelaku perusakan/penjarahan hutan menggerakkan hati nuraninya untuk membangkitkan semangat memperjuangkan nasib lingkungan, khusunya di Jawa Barat.  Langkah awal harus dilakukan adalah mensosilisasikan kembali RAKGANTANG = Gerakan Gandrung Tatangkalan yaitu Program Reboisasi Hutan yg sudah gundul.

Dampak dari Gerakan Gandrung Tatangkalan tersebut adalah pengelolaan Sumber Daya Alam berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup diterjemahkannya dalam bentuk  program-program aksi nyata di lapangan. Hal ini, mampu mendorong dan menggerakan bahkan memobilisasi masyarakat khususnya petani sekitar hutan untuk  peduli (kritis dan korektif) dan berinisiatif lokal secara swadaya (swadesa dan swadesi) bahkan melakukan gugatan publik untuk mengatasi masalah lingkungan hidup di sekitarnya.

Salahsatu Sumber Daya Alam yang sangat memprihatinkan pada saat ini di Jawa Barat, adalah konservasi hutan di Gunung Tampomas – Sumedang, yang kini hanya tinggal sekitar 30% lagi, akibat dari perambahan hutan dan penambangan pasir (Galian C), sehingga potensial sekali akan terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau akibat hilangnya sumber mata air.

Keadaan tersebut di atas pada saat ini diperparah lagi oleh ulah para penambang pasir, yang menggali sampai lapisan “aquifers” yang tidak tembus resapan air (infiltration), sehingga sangat membahayakan stabilitas lereng karena akan menimbulkan potensial terjadinya kelongsoran akibat dari tekanan air pori pada dinding tanah akibat galian tersebut, yang kini dibiarkan “gorowong” setelah permukaan pasirnya dieksplorasi, tanpa menghiraukan dampak lingkungan di sekitarnya serta akibat yang akan ditimbulkannya.

Yang sangat menyedihkan lagi adalah kondisi tersebut ternyata dibiarkan saja oleh pihak Pemerintah Daerah, karena tidak terkontrol atau ketahuan sehingga sampai terjadi seperti itu. Hal itu jelas-jelas cara penggaliannya tidak menggunakan “amdal” dan tidak menggunakan aturan yang baku, sehingga bekas dari galian tersebut praktis tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk ditanami pohon karena sudah tidak ada lagi lapisan humus di atas permukaanya, selain itu bentuk kontur tanahnya menjadi tidak karuan karena menimbulkan dinding-dinding terjal yang sangat membahayakan sekali.

Akankah Gunung Tampomas Terus Dieksploitasi ?

Tujuh titik lokasi galian C berupa penambangan pasir di kaki Gunung Tampomas, Bukit Layapan, Blok Batunungku, sekitar Desa Cibeureum Wetan, Kec. Cimalaka, Kab. Sumedang, konon telah diancam Pemkab Sumedang akan ditutup dan dicabut Surat Izin Usaha Penambangan (SIUP)-nya. Pasalnya, tata cara penambangan di tujuh titik lokasi galian dalam satu kawasan di bukit tersebut, dinilai membahayakan lingkungan dan keselamatan orang di sekitarnya, serta melanggar aturan penambangan yang telah ditetapkan dalam SIUP tujuh titik lokasi galian tersebut.

Namun nampaknya ancaman berupa teguran dan peringatan keras terhadap pengelola tujuh titik lokasi galian itu, yang disampaikan langsung oleh tim penertib galian C Pemkab Sumedang, pada saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan penertiban ke sejumlah lokasi galian C di Kab. Sumedang (29/3/2010), masih belum dapat mengembalikan seperti kondisi semua, karena terkendala dengan biaya yg cukup besar, sehingga akhirnya dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja.

Sementara ke tujuh titik lokasi galian pasir itu kini sudah berbentuk cerukan dan membentuk tebing tegak curam berketinggian rata-rata mencapai belasan meter memotong kaki bukit. Padahal, dalam SIUP-nya ke-tujuh lokasi galian yang berada pada lahan bekas galian pasir sebelumnya itu, semestinya hanya diizinkan untuk penambangan daur ulang dan penataan.

Aktivitas galian C berupa penambangan batu dan pasir di kawasan kaki Gunung Tampomas, tepatnya di Blok Jugul, Desa Mandalaherang, Kec Cimalaka itu ternyata menimbulkan kecurigaan warga !

Hal ini karena sejak 2006, Pemkab Sumedang telah menyatakan tidak akan mengeluarkan lagi izin usaha penambangan (IUP) galian C di kawasan Gunung Tampomas. Dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) pun, kawasan Gunung Tampomas sejak itu sudah dinyatakan bukan lagi zona penambangan.

Maka dari itu kini masyarkat telah mensinyalir adanya kolusi antara Pengusaha dan Oknum Aparat Pemerintahan, mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, sampai di ringkat Pemkab Sumedang,

Namun dimintai tanggapan atas adanya galian C di lokasi tersebut, Sekretaris Daerah (Sekda) Kab. Sumedang H. Atje Arifin Abdullah, menegaskan sejak tahun 2006 Pemkab Sumedang telah komitmen untuk tidak memperpanjang apalagi membuat IUP baru aktivitas galian C di kawasan Gunung Tampomas, namun beliau memastikan bahwa galian C baru itu beroperasi tanpa izin dari pihak Pemkab Sumedang.

Dengan demikian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kenapa sejak dikeluarkankan Perda empat tahun yang lalu, masih terus terjadi penggalian sampai dengan sekarang ? Artinya penggalian selama 4 tahun yang telah menghasilkan ribuan kubik pasir itu adalah perbuatan ILEGAL, namun tetap saja tidak ada tindakan NYATA dari Pemerintah Daerah, karena buktinya sampai kini proses penambangan pasir masih berlanjut !

Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena “tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api” ! Nampaknya telah terjadi “symbiosis mutualism” atau saling menguntungkan kedua-belah pihak, artinya Pemerintah Daerah (oknum) telah merasa diuntungkan dengan adanya “illegal mining” tersebut, namun demikian apakah retribusinya tersebut masuk ke kas daerah ?

Memang sangat disayangkan dan menyedihkan dibuatnya, keuntungan yang tidak seberapa itu jauh dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkanya, karena kerugian tersebut tidak hanya berdampak pada saat ini saja, namun berdampak jangka panjang, sehingga kalau tidak segera ditangani akan berakibat fatal untuk kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Nah dengan demikian…, siapakah orang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan tersebut di atas…? Ya.., tentunya adalah Pimpinan Daerah yang telah memberikan Ijin tersebut !

“RAKTANDANG” Salah Satu Solusinya.

Gerakan Tatangkalan Sumedang” (Raktandang), adalah merupakan salah satu solusi yang sebenarnya dapat segera mengatasi kerusakan lingkungan di Gunung Tampomas tersebut.

Bentuk gerakan itu tidak lain sama halnya dengan Program “Rakgantang” yang dicetuskan oleh Solihin GP jaman dulu, namun lingkupnya untuk di daerah Sumedang saja.

Sebenarnya upaya tersebut tidak berlebihan dan sangat memungkinkan untuk dilaksanakan selama ada KEMAUAN, karena program tersebut akan melibatkan masyarakat di tiap-tiap desa / kecamatan yang nantinya akan berdampak terhadap peningkatan tingkat kehidupan / perekonomian.

Upaya tersebut tentunya adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya memelihara lingkungan alam dan akibat yang ditimbulkannya bila terjadi kerusakan.

Namun upaya tersebut tentunya harus seperti “Mang Ihin”, sampai mau turun tangan datang ke desa berbaur dengan masyarakat, karena dengan demikan masyarakat akan lebih merasa “appreciate” terhadap pemerintah dan tentunya akan melaksanakannya dengan baik.

Bila kita lihat seperti yang terjadi di Gunung Tampomas, sebenarnya bukan suatu hal yang sulit untuk dilakukan program Raktandang, karena masyarakat pemilik lahan di sekitar kaki Gunung Tampomas pun tentunya akan merasa senang bila lahannya dijadikan program reboisasi demi keuntungan bersama.

Gerakan Tatangkalan Sumedang, tentunya tidak harus ditanami pohon kayu saja, namun dapat juga ditanami dengan pohon buah-buahan terutama untuk lokasi yang berdekatan dengan rumah-rumah penduduk, sebagai tanaman tumpang sari yang dapat menghasilkan dalam setiap tahunnya.

Program “Raktandang” tersebut dapat melibatkan Sekolah / Perguruan Tinggi, terutama yang ada di kawasan Sumedang (Fak.Pertanian / Kehutanan Unpad dan Unwim) dengan melibatkan mahasiswa (asal Sumedang) untuk dijadikan bahan penelitian / tugas akhir, sehingga keduabelah pihak dapat saling menguntungkan dan tentunya hal itu adalah merupakan Program Aksi Nyata antara Pemkab Sumedang dengan Mahasiswa dan Perguruan Tinggi.

Selain itu dampak positip lainnya yang akan diperoleh bagi masyarakat tentunya adalah peningkatan tarap kehidupan, karena selain dapat dijadikan lahan pertanian juga dapat meningkatkan hasil usaha tani lainnya seperti peternakan dan budi daya lainnya.

Hal itu semua sebenarnya bergantung kepada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik atau tidaknya, karena harus diingat bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu bangsa, melainkan bangsa (masyarakat) itu sendirilah yang harus merubahnya !

Sebagai masyarakat yang beriman, tentunya kita semua harus sadar dan menyadari bahwa terjadinya kerusakan alam itu tiada lain adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri yang merajalela demi meraih keuntungan yang sebanyak-banyak tanpa menghiraukan akibatnya. Hal itu telah diingatkan oleh Alloh subhanahu wata’ala dalam Al Qur’an, sbb:
وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ (٧٤
“Dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan” (QS. Al Araf :74)
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَـٰحِهَا‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ إِن ڪُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٨٥
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Al Araf : 85)

Sehingga bila kita tidak mau merubahnya tentu akan menjadikan kufur nikmat adanya, karena tidak mensyukuri akan nikmat yang telah diberikan-Nya, dengan demikian maka tunggu saja azab yang akan ditimbulkannya seperti bencana alam : longsor, banjir dan kekeringan !

Wa Allahu a’lam bi as-Sawab…!

Salam Sono ti Urang Wado (Ir.H.Surahman,M.Tech,M.Eng,MBA)

Respon (2)

  1. RAKGANTANG (Gerakan Gandrung Tatangkalan), idenya Mang Ihin (Gubernur Jabar,)adalah sebuah upaya yang patut diapresiasi oleh semua kalangan. Upaya ini juga harus dilanjutkan oleh pihak pemerintah dan harus didukung oleh seluruh masyarakat. Hayu urang pepelakan deui.
    Seniman Endan Rosadi (alm)telah menciptakan lagu RAKGANTANG di era tahun 70 an. Konon lagu itu dipersembahkan oleh seniman di atas untuk mengingatkan kesadaran pada masyarakat pentingnya memelihara lingkunganm hidup.

  2. Wilujeng ka bapak Haji Surahman, hatur nuhun kana sagala rupi informasina. salam ti simkuring pa, ari kawit mah ti Darmaraja. Wassalam. Majeng teras “SO”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *