MEKANISME TERJADINYA LONGSOR
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Sabtu, 29 Mei 2010 15:48 WIB
Longsoran merupakan salah satu masalah yang banyak terjadi pada lereng alam maupun buatan, dan merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, terutama pada musim hujan yang mengakibatkan kerugian materiil yang cukup besar serta menelan korban jiwa. Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan disebutkan bahwa karakteristik hujan yang memicu terjadinya longsoran sulit untuk diketahui besar intensitas dan durasinya. Hujan yang sebagian berinfiltrasi dianggap sebagai salah satu faktor yang cukup berperan dalam proses terjadinya longsoran karena dapat mempengaruhi proses penjenuhan tanah untuk berubah dalam dimensi ruang dan waktu.
Permasalahan tanah longsor ini mengambil lokasi di dusun Ciumpleng – Desa Cinangsi dan ruas jalan di daerah Eba (Loa) Desa Cinangsi Kecamatan Cisitu. Pada daerah itu memiliki potensi yang cukup besar untuk terjadinya longsor mengingat pada lokasi tersebut memiliki kemiringan lereng sampai mencapai sekitar 60%, dan banyak dijumpai rembesan aliran tanah pada permukaan penutup lereng serta tanah penutup lereng yang berada di atas tanah breksi andesit
Analisa ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan perubahan kestabilan lereng yang dikontrol oleh perubahan kandungan air dalam tanah pembentuk lereng, mengetahui sensitivitas faktor-faktor pengontrol longsoran pada lereng, mengetahui mekanisme longsoran dan identifikasi karekteristik hujan pemicu longsor serta memberikan ciri kondisi suatu lereng yang akan mengalami longsor sebagai bagian kecil dari peringatan dini terhadap bahaya kelongsoran lereng.
METODOLOGI ANALISA STABILITAS LERENG.
Kuat Geser Tanah
Kuat geser tanah adalah perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah terhadap beban yang bekerja. Persamaan umum untuk kuat geser tanah menurut Mohr-Coulomb adalah : τ = c + σ tg φ
di mana :
τ : kuat geser tanah (kN/m2),
σ : tegangan normal pada bidang runtuh (kN/m2),
c : kohesi tanah (kN/m2),
φ : sudut gesek dalam tanah (o).
Jika tanah tidak jenuh sempurna, maka ronga tanah akan terisi oleh air dan udara. Tekanan air pori (uw) harus selalu lebih kecil daripada tegangan yang terjadi dalam udaranya (ua) akibat tarikan permukaan. Bishop (1955, dalam Fredlund, 1987) mengusulkan persamaan tegangan efektif untuk tanah tidak jenuh sempurna sebagai berikut :
σ = σ’ + ua – χ (ua– uw)
Suku persamaan (ua – uw) adalah ukuran besarnya pengisapan (suction) tanah. Untuk tanah jenuh (S = 1), χ = 1 dan untuk tanah kering (S = 0), χ = 0.
Fredlund dan Morgenstern (1977), menggambarkan variabel stress state untuk tanah tak jenuh dan menjelaskan pemakaiannya dengan cara tersendiri. Diusulkan pula untuk memisahkan variabel stress state (σ – ua) dan (ua – uw) pada saat melakukan analisa masalah praktis. Tanah tak jenuh memerlukan dua variabel stress state yang terpisah dan tetap diperhitungkan dalam mendefinisikan selubung keruntuhan (failure envelope). Jika permukaan dianggap bidang datar (planar), maka kekuatan geser tak jenuh τ dapat dituliskan sebagai berikut :
τ = c‘ + (σ – ua) tg φ’ + (ua – uw) tg φb
Jika kejenuhan mencapai udara dalam pori dan menghentikannya dengan air sepenuhnya, maka Persamaan tersebut menjadi persamaan kuat geser untuk tanah jenuh yaitu :
τ = c‘ + (σ – uw) tg φ’
Selanjutna berdasarkan analisa tersebut di atas, kemudian dilakukan Tahap Penyelidikan Lapangan dan Uji Laboratorium, dengan mengambil sampel tanah dengan melakukan pengeboran tanah. Setelah itu kemudian dilakukan Tahap Pemodelan dan Aplikasi Model Rancangan Lereng berdasarkan data curah hujan yang terjadi.
Berdasarkan hasil penyeledikan tanah (soil investigation) dengan peningkatan curah hujan (tingkat kejenuhan air dalam tanah) itu nantinya akan diperoleh suatu faktor keamanan (safety factor) yang cenderung akan menurun sebanding dengan besarnya kandungan air di dalam tanah tersebut, sehingga akhirnya terjalilah longsor bila safety factor-nya lebih kecil dari tanah dalam keadaan normal (tidak hujan).
Selain faktor tersebut tersebut di atas, potensial terjadinya longsoran adalah akibat terjadinya getaran tanah akibat gempa bumi (yang terjadi baru-baru ini) yang dapat mengakibatkan perjadinya perubahan / deformasi lapisan tanah, sehingga memudahkan tanah menjadi lebih cepat lepas (loss of suction).
Mekanisme terjadinya kelongsoran tanah diantaranya disebabkan karena oleh perubahan tekanan air pori negatif yang terjadi di lapangan, hal ini dapat dilihat dari kemunculan beberapa ”mata air” di lereng sebagai suatu indikasi awal bahwa lereng sedang mengalami penjenuhan.
Penjenuhan di sini terjadi akibat tekanan berlebih dari air tanah yang mengakibatkan air tanah terkekan keluar melalui pori-pori tanah dan batuan.
Beberapa indikator lapangan lainnya yang memberikan informasi bahwa suatu lereng akan mengalami longsor atau memiliki potensi longsor yang cukup besar dapat dilihat dari perubahan fluktuasi muka air tanah yang secara tiba-tiba meninggi dari batas normal sebelumnya serta ditandai dengan kekeruhan pada beberapa sumur penduduk setempat. Kondisi vegetasi di lereng yang mengalami deformasi atau sebagain besar mengalami perpindahan.
Selain dilihat dari kondisi tanah tersebut di atas, kemungkinan besar yang terjadi untuk di ruas Jalan di daerah Eba (Loa) sejak tahun 1975 itu, pada bagian permukaan bawah dari pondasi jalan tersebut tanahnya adalah merupakan lapisan tanah liat / porang (clays), yang tidak menyerap air sehingga tanah pada bagian atas permukaan cepat jenuh air (saturated) bila terjadi hujan, dan selain itu hal lain yang akan mempercepat timbulnya pergerakan tanah adalah akibat dari tekanan beban gandar kendaraan yang melewati jalan tersebut.
Adapun upaya untuk mencegah terjadinya longsor seperti di daerah Ciumpleng – Cinangsi dan Ganeas usaha yang paling efektif adalah melakukan pencegahan penebangan pohon dan melakukan program reboisasi menanami tanah dengan pohon yang memiliki akar tunggang, seperti pohon kayu (bukan dengan pohon kelapa – yg berakar serabut).
Upaya tersebut tentunya perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mencanangkan kembali “Program Rakgantang” seperti pada era tahun 70-an. Bila tidak, maka potensi terjadinya longsor di daerah Sumedang akan sangat tinggi sehingga akan mengancam kehidupan masyarakat.
Sementara upaya pencegahan terjadinya longsor di ruas jalan seperti di Ruas Jalan Eba (Loa), Sukatali dan Nyalindung-Paseh tentunya dengan mengurangi beban gandar kendaraan yang melewati jalan tersebut terutama pada waktu musim hujan. Adapun untuk ruas jalan di daerah Eba (Loa), yang terbaik adalah memindahkan ruas jalan tersebut ke daerah yang memiliki daya dukung tanah lebih tinggi dan tidak berlereng, karena bila tetap dilakukan perbaikan pada ruas jalan tersebut tidak akan efektif untuk jangka panjang, karena pondasi badan jalan di daerah itu akan selalu mengalami pergerakan akibat kondisi tanahnya mengandung lapisan lempung / tanah porang (clays).
Hal tersebut di atas, semuanya kembali berpulang kepada kesadaran masyarakat dan keseriusan dari Pemda mengatasi longsor dengan melakukan “mitigation” sedini mungkin, untuk menanggulagi bahaya lonsor selanjutnya.
Semoga…!
Salam Sono ti Urang Wado,
(Ir.H.Surahman,M.Tech,M.Eng)