Ronggeng Gunung Aset Provinsi Jabar
- Penulis: Fitriyani Gunawan
- Editor: Redaksi
- Terbit: Senin, 3 Okt 2011 11:46 WIB
Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu kadeulu datang deui
BAIT-bait syair berisikan kegundahan dan kesedihan seorang wanita, terdengar sangat nyaring. Terkadang irama lagunya mendayu-dayu, naik turun dalam irama yang mengalun, seolah menghanyut pendengarnya dalam ikatan suasana yang sulit dilepaskan.
Tak seperti biasa Ronggeng Gunung di hiasi dengan Lampu – lampu terang karena Nyanyian Syair ini selalu dalam temaram cahaya obor, Bi Pejoh, demikian sang ronggeng biasa disapa.
“Dalam acara Pergelaran Hasil Pewarisan Kepesindenan Ronggeng Gunung Pewarisan Seni Tradisional (Maestro) Bi Pejoh” di Pangandaran Kabupaten Ciamis belum lama ini, minggu (01/10). Sang maestro serta beberapa pecinta Ronggeng di berikan penghargaan dan uang kadeudeuh oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa Barat.
Dalam sambutannya Herdiwan I Suranta mengatakan, akan membawa Ronggeng Gunung dan memperkenalkan kepada dunia Internasional karena Ronggeng Gunung memiliki ciri khas tersendiri, bahkan dari ronggeng – ronggeng yang sudah ada di jaman sekarang adalah perkembangan dari Ronggeng Gunung, tuturnya.
Di akhir acara Gugum Gumbira sang Legenda Seni ini menambahkan “akan Dibuat Sinopsis dan Ritual yang lebih kental dengan yang aslinya atau harus mengenai Jiwa dan Ruh nja… tarian juga akan dibuat sederhana mungkin agar bisa di nikmati oleh semua kalangan,” ungkapnya.
Ditemui di tempat Istirahatnya Kasepuhan Ronggeng Gunung tidak lain guru Bi Pejoh menambahkan, bahwa sebenarnya tidak ada mewariskan atau menurunkan karena itu adalah keahlian bi Pejoh dengan cengkok serta nyaring suaranya.
“Awalnya, Ronggeng Gunung berbau maut. Kesenian tradisional Ciamis selatan itu, merupakan seni bertempur yang cerdik. Konon, orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Ketika musuh terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan.
Siasat itu, konon diilhami dendam Dewi Siti Samboja yang kemudian mengubah namanya menjadi Dewi Rengganis. Pasalnya, suami tercintanya, Raden Anggalarang putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tewas dibunuh kaum perompak (bajo) di tengah perjalanan menuju Pananjung, Pangandaran. Beruntung Dewi Siti Samboja selamat dan bersembunyi di kaki gunung.
Bagi masyarakat Ciamis Selatan, kesenian ronggeng gunung pada masa jayanya bukan hanya hiburan tetapi juga pengantar upara adat. Dalam mitologi Sunda, Dewi Siti Samboja atau Dewi Rengganis hampir sama dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian dalam ronggeng gunung melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, yakni sejak turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran karena panen berhasil. Tambah sang pupuhu.
Kasi Seni Tradisi, Disparbud Jabar, Iwan Gunawan, saat ditemui setelah acara usai, dia berharap program pewarisan sedikitnya bisa menyelamatkan kesenian yang sudah sulit dikenali oleh masyarakat luas. “Kami berusaha mengaktualkan kembali kesenian di tengah masyarakat dan mengharapkan peran bantu serta dorongan dari seluruh sektor wilayah,”ungkap Iwan.
“ Tarian ronggeng gunung Menari juga ada seseuatu unsur gerak membuat badan kita sehat atau menari sama saja dengan olahraga”.
“Ronggeng Gunung agar menjadi Primadona daerah Kabupaten Ciamis, secara teknis semua orang pasti bisa menari, serta Ronggeng Gunung akan di tampilkan dan memperlihatkan kepada pendatang khusunya di wisata pangandaran karena banyak Turis asing yang melancong di daerah tersebut”.
“Ronggeng Gunung itu sendiri akan di pentaskan dan diperkenalkan jika ada acara di Jawa barat, Untuk Pembinaan itu sendiri Iwan mengatakan harus ada Kontinue baik melalui Workshop maupun pelatihan pelatihan kesenian, pungkas Iwan Gunawan S.Sn, M.M.