[caption id="attachment_10469" align="alignleft" width="213"] ILUSTRASI. sumber:www.aiddaardini.blogspot.com[/caption] ORANGTUA mana yang tak menginginkan anaknya berpendidikan dan cerdas? Bagi keluarga yang mampu tentu bukan masalah, namun bagaimana bagi yang tidak? Berbagai upaya dilakukan orangtua siswa di Indonesia agar anaknya bisa terus belajar di sekolah. Mulai dari bekerja lebih giat, mencari peluang usaha yang lebih menjanjikan, menggadaikan barang-barang berharga, berhutang, bahkan mungkin hingga mencuri. Semuanya dengan niatan yang satu, yakni keinginan kuat agar anaknya bisa sekolah biar pintar. Tidak hanya orangtua, sebagian siswa pun tak kalah gigih berjuang. Kita pernah bahkan sering melihat dan mendengar, ada siswa sekolah sambil jualan. Tentu ini tidak masalah, bukan? Tapi jika sebagian dari mereka mengamen, minta-minta hingga jadi pencopet, apa jadinya? Padahal tujuan semuanya sama yakni tetap sekolah. Miris Disaat masyarakat Indonesia baik orangtua maupun anaknya bersikukuh mengupayakan kelencaran proses belajar di sekolah, namun anehnya semangat mereka ibarat ‘bertepuk sebelah tangan’. Pasalnya pemerintah kerap membuat kebijakan di bidang pendidikan yang tk masuk akal. Tak hanya sistem pendidikannya, tapi juga anggaran biaya. Tiap tahun biaya terus merangkak naik tanpa diimbangi meningkatnya kualitas pendidikan. Ada sekolah yang dikategorikan bagus tapi biayanya ‘mencakar langit’. Sebut saja misalnya biaya masuk Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (RSBI). Di Sumedang salahsatu yang berkategori RSBI yakni SMAN 1 Sumedang. Untuk dapat masuk ke sekolah RSBI tersebut orangtua siswa harus mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah. “Rata-rata, uang masuk RSBI mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA sederajat bervariasi. Mulai di bawah Rp 10 juta hingga belasan juta rupiah per-siswa. Belum lagi jika ada RSBI nakal yang membuka sistem tawar-menawar. Mereka meloloskan siswa tertentu asalkan bisa membayar lebih tinggi ketimbang siswa lain”. (jppn) Amanat Pembukaan UUD 1945 Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa salahsatu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semestinya pemerintah memahami betul makna Pembukaan UUD tersebut. Jika memang negara ini mengharapkan warganya cerdas. Pemerintah seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang menunjang dengan biaya yang terjangkau. Apalagi jika dikaitkan dengan pasal 31 (1) UUD 1945 yang menyatakan, “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Hal ini semakin menunjukkan bahwa tugas penyediaan layanan pendidikan untuk menjadi amanah bagi pemerintah bukan sekolah apalagi orangtua. Sebab kebijakan terkait pendidikan ada pada pemimpin negeri ini. (sumedangonline.com, 14/062012) Hubungan Pemerintah dengan Rakyat Hubungan pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pelayanan. Dengan ini, semestinya pemerintah sungguh-sungguh memberikan pelayanan terbaik bukan malah menyulitkan. Jangan sampai malah merubah hubungan palayanan menjadi hubungan antara penjual dan pembeli. Namanya juga penjual, ya tentu mencari keuntungan, tak mau rugi. Hingga dalam setiap kebijakan didorong atas pertimbangan untung dan rugi. Jika telah berlaku seperti penjual dan pembeli, jangan salahkan jika ada anekdot ‘Lo jual gue beli’ menjadi kenyataan. Hal ini terjadi jika pemerintah telah dan semakin menyusahkan, siap-siap anda kami turunkan. Penulis berpendapat, “besarnya biaya pendidikan, menyebabkan banyak siswa akhirnya menelan pil pahit ‘putus sekolah', itu mengindikasikan jika peran pemerintah dalam sektor pendidikan masih lemah. Diperparah lagi dengan adanya kebijakan yang seolah-olah baik, misal adanya subsidi silang. Mengapa mesti ada kebijakan seperti ini jika uang masuk bagi sekolah yang menjalankan kebijakan ini tetap mahal? Jadi sebenarnya siapa yang disubsidi? (sumedangonline.com, 14/06/2012) Karenanya, pendidikan tidak hanya butuh sekedar semangat rakyat saja namun juga perhatian dari pemerintah.(*) Penulis: Fengki Ari Anggara (Mahasiswa Jurusan Manajemen Produksi di IKOPIN)/SUMEDANG ONLINE

Pendidikan, Lo Jual Gue Beli ?!

ILUSTRASI. sumber:www.aiddaardini.blogspot.com

ORANGTUA mana yang tak menginginkan anaknya berpendidikan dan cerdas? Bagi keluarga yang mampu tentu bukan masalah, namun bagaimana bagi yang tidak? Berbagai upaya dilakukan orangtua siswa di Indonesia agar anaknya bisa terus belajar di sekolah. Mulai dari bekerja lebih giat, mencari peluang usaha yang lebih menjanjikan, menggadaikan barang-barang berharga, berhutang, bahkan mungkin hingga mencuri. Semuanya dengan niatan yang satu, yakni keinginan kuat agar anaknya bisa sekolah biar pintar.

Tidak hanya orangtua, sebagian siswa pun tak kalah gigih berjuang. Kita pernah bahkan sering melihat dan mendengar, ada siswa sekolah sambil jualan. Tentu ini tidak masalah, bukan? Tapi jika sebagian dari mereka mengamen, minta-minta hingga jadi pencopet, apa jadinya? Padahal tujuan semuanya sama yakni tetap sekolah.

Miris

Disaat masyarakat Indonesia baik orangtua maupun anaknya bersikukuh mengupayakan kelencaran proses belajar di sekolah, namun anehnya semangat mereka ibarat ‘bertepuk sebelah tangan’. Pasalnya pemerintah kerap membuat kebijakan di bidang pendidikan yang tk masuk akal. Tak hanya sistem pendidikannya, tapi juga anggaran biaya. Tiap tahun biaya terus merangkak naik tanpa diimbangi meningkatnya kualitas pendidikan. Ada sekolah yang dikategorikan bagus tapi biayanya ‘mencakar langit’. Sebut saja misalnya biaya masuk Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (RSBI). Di Sumedang salahsatu yang berkategori RSBI yakni SMAN 1 Sumedang. Untuk dapat masuk ke sekolah RSBI tersebut orangtua siswa harus mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah.

“Rata-rata, uang masuk RSBI mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA sederajat bervariasi. Mulai di bawah Rp 10 juta hingga belasan juta rupiah per-siswa. Belum lagi jika ada RSBI nakal yang membuka sistem tawar-menawar. Mereka meloloskan siswa tertentu asalkan bisa membayar lebih tinggi ketimbang siswa lain”. (jppn)

Amanat Pembukaan UUD 1945

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa salahsatu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semestinya pemerintah memahami betul makna Pembukaan UUD tersebut. Jika memang negara ini mengharapkan warganya cerdas. Pemerintah seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang menunjang dengan biaya yang terjangkau. Apalagi jika dikaitkan dengan pasal 31 (1) UUD 1945 yang menyatakan, “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Hal ini semakin menunjukkan bahwa tugas penyediaan layanan pendidikan untuk menjadi amanah bagi pemerintah bukan sekolah apalagi orangtua. Sebab kebijakan terkait pendidikan ada pada pemimpin negeri ini. (sumedangonline.com, 14/062012)

Hubungan Pemerintah dengan Rakyat

Hubungan pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pelayanan. Dengan ini, semestinya pemerintah sungguh-sungguh memberikan pelayanan terbaik bukan malah menyulitkan. Jangan sampai malah merubah hubungan palayanan menjadi hubungan antara penjual dan pembeli. Namanya juga penjual, ya tentu mencari keuntungan, tak mau rugi. Hingga dalam setiap kebijakan didorong atas pertimbangan untung dan rugi. Jika telah berlaku seperti penjual dan pembeli, jangan salahkan jika ada anekdot ‘Lo jual gue beli’ menjadi kenyataan. Hal ini terjadi jika pemerintah telah dan semakin menyusahkan, siap-siap anda kami turunkan.

Penulis berpendapat, “besarnya biaya pendidikan, menyebabkan banyak siswa akhirnya menelan pil pahit ‘putus sekolah’, itu mengindikasikan jika peran pemerintah dalam sektor pendidikan masih lemah. Diperparah lagi dengan adanya kebijakan yang seolah-olah baik, misal adanya subsidi silang. Mengapa mesti ada kebijakan seperti ini jika uang masuk bagi sekolah yang menjalankan kebijakan ini tetap mahal? Jadi sebenarnya siapa yang disubsidi? (sumedangonline.com, 14/06/2012)

Karenanya, pendidikan tidak hanya butuh sekedar semangat rakyat saja namun juga perhatian dari pemerintah.(*)

Penulis: Fengki Ari Anggara (Mahasiswa Jurusan Manajemen Produksi di IKOPIN)